Cari Blog Ini

25 Mei 2010

skripsi

PENGARUH PEMAHAMAN AJARAN KARMA
TERHADAP POLA PIKIR MASYARAKAT BUDDHIS
(Suatu Kajian Kepustakaan)
Oleh:
Eko Mukti Wibowo
NIM: 05.1.100
NIRM: 2507.05.06.01.01.0069
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
dalam Mendapatkan Gelar Sarjana Agama Buddha
SEKOLAH TINGGI AGAMA BUDDHA SYAILENDRA
SEMARANG
2009
LEMBAR PENGESAHAN
PENGARUH PEMAHAMAN AJARAM KARMA
TERHADAP POLA PIKIR MASYARAKAT BUDDHIS
(Suatu Kajian Kepustakaan)
EKO MUKTI WIBOWO
NIM: 05.1.100
NIRM: 2507.05.06.01.01.0069

Dipertahankan di Depan Panitia Penguji Skripsi
Jurusan Dharma Acarya Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra Semarang
PANITIA PENGUJI
Penguji Utama Ketua Penguji/Pembimbing I
Hastho Bramantyo, S.Fil., M.A. Widiyono, B.A.Hons., M.A.
Penguji/Pembimbing II
Waluyo, S.Pd. M.Pd.
Semarang, Mei 2009
Ketua Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra
.
Hastho Bramantyo, S.Fil., M.A.
LEMBAR PENGESAHAN
PERANAN AJARAN KARMA
TERHADAP POLA PIKIR MASYARAKAT BUDDHIS
(Suatu Kajian Kepustakaan)
Oleh:
EKO MUKTI WIBOWO
NIM: 05.1.100
NIRM: 2507.05.06.01.01.0069
Dipertahankan di Depan Penguji Skripsi Negara
Jurusan Dharma Acarya Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra Semarang
Tanggal: 12 Agustus 2009
TIM PENGUJI
Caliadi, S.H., M.H. .......................................
NIP: 19641231 199103 1 020
(Penguji I)
Drs. Heru Budi Santoso, M.M. ........................................
NIP: 19651119 199203 1 001
(Penguji II)
Semarang, .....................................
Ketua Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra
Hastho Bramantyo, S.Fil., M.A.

HALAMAN MOTTO
Ada dua hal yang tidak bisa ditunda dalam kehidupan ini,
yaitu berbakti kepada orang tua dan melakukan kebajikan.
(Bhiksuni Shih Cheng Yen)
Hadapi segala sesuatu dengan kesabaran dan ketenangan.
(Penulis)

HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
Kedua orang tua dan adikku yang tercinta.
Saudari Murniati yang selalu menemani penulis.
Semua pihak yang telah membantu penulis untuk menjadi sukses.

KATA PENGANTAR
Berkah karma baik dan lindungan Tiratana, penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi dengan judul ”Pengaruh Pemahaman Ajaran Karma terhadap
Pola Pikir Masyarakat Buddhis”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian
persyaratan dalam menyelesaikan Program Sarjana (S1) pada Jurusan Dharma
Acarya, Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra Semarang.
Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Yayasan Pendidikan Dharma Syailendra yang telah menyediakan fasilitas
sebagai penunjang dan pendukung dalam penulisan skripsi.
2. Bapak Hastho Bramantyo, S.Fil., M.A., selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama
Buddha Syailendra.
3. Bapak Widiyono, B.A. Hons., M.A., selaku Dosen Pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan dan arahan baik teknik maupun substansi penulisan.
4. Bapak Waluyo, S.Pd., M.Pd., selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan dan arahan baik teknik maupun substansi penulisan.
5. Dosen Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra yang telah membantu
penulis memberikan informasi dan bimbingan yang berguna dalam penulisan
skripsi.
6. Perpustakaan Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra yang telah
menyediakan buku referensi yang sangat diperlukan dalam penulisan skripsi.
7. Kedua orang tua dan adik tercinta yang memberikan bimbingan dan semangat
serta bantuan secara materi yang mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Saudari Murniati selaku teman dekat yang selalu memberikan dukungan dan
motivasi yang sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Teman-teman seperjuangan Semester Delapan (Santos, Herry, Unk,
Sukodoyo, To2k, Jay, Wa2n, Pbruw, Selamet, Gunawan, Kirmi, Karni, Lis,
Metta, Mb. Jum, Mb. Nana, Mb. V3, Anis, Supra, Warsiwi, dan Tayuk) yang
telah memberikan bantuan dan motivasi dalam penyusunan skripsi.
10. Keluarga besar Sarno Kost (Simbah, Pak Sarno, Ibu, Iis, Andrean, Yoni, Tato,
Khema, Pak Suradi, Bu Lastri) yang telah memberikan dukungan.
11. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, maka
penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga
skripsi ini bermanfaat bagi semua umat Buddha dalam mendalami ajaran Buddha,
khususnya ajaran karma.
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta.
Semarang, Mei 2009
Penulis

ABSTRAK
Eko Mukti Wibowo. 2009. Pengaruh Pemahaman Ajaran Karma terhadap Pola
Pikir Masyarakat Buddhis. Skripsi, Jurusan Dharma Acarya, Sekolah
Tinggi Agama Buddha Syailendra Semarang. Pembimbing: (I) Widiyono,
B.A. Hons., M.A., (II) Waluyo, S.Pd., M.Pd.
Kata Kunci: Pemahaman Ajaran Karma, Pengaruh, Pola Pikir Masyarakat
Buddhis.
Penelitian dengan judul “Pengaruh Pemahaman Ajaran Karma terhadap
Pola Pikir Masyarakat Buddhis” ini bertujuan untuk menjelaskan posisi ajaran
karma yang berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat Buddhis, menjelaskan
pengaruh pemahaman ajaran karma terhadap pola pikir masyarakat Buddhis, dan
menjelaskan solusi agama Buddha untuk mengubah pola pikir negatif masyarakat
Buddhis.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
analitis. Metode ini digunakan untuk meneliti dan menganalisis objek penelitian,
yaitu pemahaman ajaran karma dan pola pikir masyarakat Buddhis. Data yang
berhubungan dengan pemahaman ajaran karma dan pola pikir masyarakat Buddhis
diperoleh dari sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer berasal dari
Kitab Suci Agama Buddha, sedangkan sumber sekunder berasal dari buku-buku
Buddhis, buku-buku umum, majalah, jurnal, artikel, dan data dari internet.
Ajaran karma mengajarkan sebab akibat dari perbuatan yang dilakukan
oleh semua makhluk. Perbuatan baik akan menghasilkan akibat yang baik,
demikian pula dengan perbuatan tidak baik akan menghasilkan akibat tidak baik.
Ajaran karma dapat digunakan sebagai landasan bagi umat Buddha dalam berbuat
sesuai dengan moral dan etika (sīla). Ajaran karma merupakan salah satu
representasi berlakunya paṭiccasamuppāda. Selain itu, ajaran karma juga sebagai
filsafat jalan tengah yang menghindari dua pandangan salah, yaitu eternalis
(kekekalan) dan nihilis (kekosongan). Setiap umat Buddha mempunyai
pemahaman terhadap ajaran karma berbeda-beda. Pemahaman benar terhadap
ajaran karma menyebabkan umat Buddha memiliki pola pikir positif. Sebaliknya
pemahaman yang salah terhadap ajaran karma akan menyebabkan umat Buddha
memiliki pola pikir yang negatif. Pola pikir negatif tersebut adalah fatalistis,
dogmatik, pesimis, egoistik, dan apatis. Pola pikir negatif yang dimiliki oleh umat
Buddha akan merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Peran dhammaduta sangat
diperlukan untuk mengubah pola pikir negatif dari umat Buddha. Dhammaduta
seharusnya memberikan pemahaman yang benar terhadap ajaran karma dan
menjelaskan bahwa karma bukan ajaran yang mengarah pada deterministik dan
fatalistik.
ABSTRACK
Eko Mukti Wibowo. 2009. The Impact of the Understanding of the Doctrine of
Kamma towards the Mindset of Buddhist People. Thesis, Major in Dharma
Acarya, Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra Semarang. Advisors: (I)
Widiyono, B.A. Hons., M. A., (II) Waluyo, S.Pd., M.Pd.
The research with the title “The Impact of the Understanding of the
Doctrine of Kamma towards the Mindset of Buddhist People” has the purposes to
explain the position of the doctrine of kamma which is influential towards the
mindset of Buddhist people, the impact of the understanding of the doctrine of
kamma towards the mindset of Buddhist people, and the solution of Buddhism to
change the negative mindset of Buddhist people.
The method applied in this research is a descriptive analysis method. This
method is used to investigate and to analyze the object of research namely the
understanding of the doctrine of kamma and the mindset of Buddhist people. The
data which correlates with the understanding of the doctrine of kamma and
mindset of Buddhist people are acquired from the primary and secondary sources.
The primary source is acquired from Buddhist scripture, whereas the secondary
sources are acquired from Buddhist literatures, general literatures, magazine,
journal, article, and the data from internet.
The doctrine of kamma explains the cause and the effect of deeds which
are done by all beings. A good deed will give result a good effect, and with a bad
deed will give a bad result. The doctrine of kamma can be used as a foundation for
Buddhist to live morally and ethically. The doctrine of kamma is one of the
representations of the working of paṭiccasamuppāda. Beside that, the doctrine of
kamma is also considered as the middle way philosophy which avoids two wrong
views, namely eternalism and nihilism. Each Buddhist people comprehends the
doctrine of kamma differently. The true understanding of the doctrine of kamma
will give a positive mindset. The wrong understanding of the doctrine of kamma
will give a negative mindset. The negative mindsets of Buddhist people are
fatalistic, dogmatic, pessimistic, egoistic, and apathetic. The negative mindset will
harm oneself and other beings. The role of dhammaduta is really needed to
change the negative mindset among Buddhist people. Dhammaduta should give
true understanding of the doctrine of kamma and should explain that the doctrine
of kamma is not a doctrine which is deterministic and fatalistic.
Keywords: The Understanding of the Doctrine of Kamma, Impact, The Mindset of
Buddhist People.

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN.......................................................................... ii
HALAMAN MOTTO .................................................................................. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................. v
ABSTRAK .................................................................................................. vii
ABSTRACT .................................................................................................. viii
DAFTAR ISI ............................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 4
C. Tujuan Kajian .............................................................................. 4
D. Kegunaan Kajian .......................................................................... 5
E. Metode Kajian ............................................................................. 5
F. Definisi Istilah .............................................................................. 8
BAB II POSISI AJARAN KARMA BUDDHIS
YANG BERPENGARUH TERHADAP
POLA PIKIR MASYARAKAT BUDDHIS
A. Ajaran Karma Buddhis ............................................................... 11
1. Pengertian Karma dan Sebab Karma ...................................... 11
a. Pengertian Karma ............................................................. 11
b. Sebab-Sebab yang Mempengaruhi Karma ........................ 18
2. Karma Sebagai Hukum Sebab-Akibat..................................... 25
3. Pembagian Karma................................................................... 29
B. Posisi Ajaran Karma Buddhis yang Mempengaruhi
Pola Pikir Masyarakat Buddhis ................................................... 42
1. Sebagai Landasan Umat Buddha untuk Bermoral
dan Beretika............................................................................ 42
2. Sebagai Salah Satu Representasi Berlakunya
Paṭiccasamuppāda................................................................. 45
3. Sebagai Filsafat Jalan Tengah ................................................ 50
BAB III PENGARUH PEMAHAMAN AJARAN KARMA
TERHADAP POLA PIKIR MASYARAKAT BUDDHIS
A. Pengaruh Negatif dari Pemahaman Salah
terhadap Ajaran Karma ............................................................... 54
1. Pandangan Salah terhadap Ajaran Karma ............................... 54
a. Karma Bersifat Deterministik............................................ 55
b. Karma Bersifat Fatalistik .................................................. 59
2. Pola Pikir Negatif Masyarakat Buddhis
karena Pemahaman Salah terhadap Ajaran Karma ................. 60
a. Fatalistis ........................................................................... 60
b. Dogmatik ......................................................................... 61
c. Pesimis ............................................................................. 62
d. Egoistik ............................................................................ 62
e. Apatis .............................................................................. 63
B. Pengaruh Positif dari Pemahaman Benar
terhadap Ajaran Karma ............................................................... 63
1. Pandangan Benar (Sammā diṭṭhi) terhadap Ajaran Karma....... 63
2. Pola Pikir Positif Masyarakat Buddhis
karena Pemahaman Benar terhadap Ajaran Karma ................ 76
BAB IV SOLUSI AGAMA BUDDHA UNTUK MENGUBAH
POLA PIKIR NEGATIF YANG DISEBABKAN
PEMAHAMAN AJARAN KARMA
A. Peran Dhammaduta dalam Mengubah Pola Pikir Negatif
Masyarakat Buddhis .................................................................... 82
B. Pemahaman Benar terhadap Ajaran Karma ................................. 88
1. Hukum Karma Bagian dari Lima Hukum Niyāma................... 88
2. Karma Bagian dari 24 Paccaya............................................... 94
3. Karma dan Keinginan Bebas (freewill) .................................. 103
4. Karma bukan Fatalistik karena dapat Diubah ......................... 106
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 113
B. Saran ........................................................................................... 119
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 121
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I
Catatan Konsultasi Skripsi
Lampiran II
Berita Acara Ujian Skripsi Lokal
Lampiran III
Daftar Hadir Ujian Skripsi Lokal

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karma merupakan istilah umum yang dikenal oleh masyarakat Buddhis
maupun anggota masyarakat yang lain. Karma bukan suatu hal yang asing bagi
masyarakat. Ajaran tentang karma bukan hanya dimiliki oleh agama Buddha saja
tetapi juga ada di dalam ajaran kaum Upanishad, kaum Ājīvika, dan Jaina
(Kalupahana, 1975: 46). Selain itu, ajaran karma terdapat di dalam agama Hindu.
Ajaran karma yang dianut oleh agama dan kepercayaan tersebut berbeda konsep,
isi, dan maknanya. Menurut agama Buddha, karma adalah perbuatan yang
didahului oleh niat atau kehendak (cetanā). Dengan adanya niat atau kehendak itu,
maka seseorang berbuat melalui badan jasmani, perkataan, atau pikiran
(Aṅguttara Nikāya III, 2001: 294). Perbuatan yang dilandasi oleh niat (cetanā)
akan menimbulkan akibat (vipāka). Perbuatan baik akan menghasilkan akibat
yang baik. Demikian juga dengan perbuatan buruk, akan menghasilkan akibat
yang buruk.
Dalam kehidupan sehari-hari, pada umumnya umat Buddha telah
mengenal ajaran tentang karma. Kebanyakan umat Buddha mendapatkan
pengetahuan tentang ajaran karma dari ceramah-ceramah dan buku-buku bacaan
Buddhis. Bagi yang duduk di bangku sekolah maupun perkuliahan, mendapatkan
pengetahuan tentang ajaran karma dari mata pelajaran dan mata kuliah yang
diajarkan oleh guru maupun dosen. Pengetahuan yang dimiliki oleh umat Buddha
tentang ajaran karma masih kurang mendalam.
Pemahaman mengenai ajaran karma yang kurang mendalam disebabkan
oleh banyak faktor, diantaranya faktor pendidikan dan kecerdasan. Pada
umumnya, bila seseorang mempunyai pendidikan yang rendah maka ia akan
mendapatkan pengetahuan ajaran tentang karma yang sedikit. Demikian juga
dengan kecerdasan yang kurang mengakibatkan seseorang akan sulit untuk
memahami ajaran karma. Selain faktor pendidikan dan kecerdasan, pemahaman
ajaran karma yang kurang mendalam disebabkan oleh informasi yang diterima
mengenai ajaran karma masih kurang. Informasi tentang ajaran karma yang masih
kurang disebabkan oleh masih sedikitnya guru agama Buddha, penceramah, dan
minimnya literatur Buddhis yang membahas ajaran tentang karma.
Pemahaman mengenai ajaran karma yang kurang mendalam menyebabkan
salah pengertian terhadap ajaran karma yang sesuai dengan ajaran Buddha.
Misalnya, umat Buddha cenderung bersikap pasrah dengan permasalahan yang
dihadapi tanpa berusaha menyelesaikan permasalahannya. Mereka beranggapan
bahwa hal tersebut merupakan hasil karmanya sendiri. Mereka bersikap pasrah
dengan akibat karmanya, padahal tidak semua permasalahan yang dihadapi karena
hasil karma. Dalam agama Buddha, karma merupakan salah satu dari 24 paccaya
(Narada, 1998: 57). Paccaya adalah kondisi, syarat, sebab, ketergantungan,
sesuatu yang menyebabkan lainnya, bergantungan padanya untuk dapat timbul
(Kompilasi Istilah Buddhis, 2005: 81). Karma merupakan salah satu sebab
(paccaya) yang menimbulkan permasalahan dalam kehidupan ini.
Pemahaman salah terhadap ajaran karma dapat dipengaruhi oleh ajaran
atau kepercayaan lain. Ajaran atau kepercayaan lain tersebut misalnya
kepercayaan tentang Tuhan yang mengatur segala sesuatu yang ada di dunia ini
termasuk kehidupan manusia. Hal tersebut dapat mempengaruhi pemahaman
terhadap ajaran karma yang dimiliki oleh umat Buddha. Umat Buddha akan
memiliki pemahaman yang salah terhadap ajaran karma dengan menganggap
karma sama dengan nasib atau takdir.
Pemahaman yang salah terhadap ajaran karma mempengaruhi pola pikir
seseorang yang akan mempengaruhi perbuatan dan tingkah lakunya dalam
kehidupan sehari-hari. Pada umumnya, pola pikir yang baik membuat orang
memiliki tindakan yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga, bila
seseorang memiliki pola pikir yang tidak baik maka akan melakukan perbuatan
atau tindakan yang tidak baik dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran karma dapat
menimbulkan pola pikir negatif bagi seseorang bila pemahaman mereka tentang
ajaran karma masih kurang atau bahkan salah pengertian.
Pola pikir seseorang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Pada
umumnya, pola pikir orang yang memiliki pendidikan yang tinggi berbeda dengan
pola pikir orang yang memiliki pendidikan yang rendah. Perbedaan pola pikir
tersebut disebabkan oleh perbedaan pengetahuan yang dimiliki. Selain faktor
pengetahuan, pola pikir yang berbeda juga dipengaruhi oleh lingkungan.
Lingkungan dapat membentuk seseorang memiliki pola pikir negatif
(http://www.maapservices.org/About Autism Aspergers.asp). Misalnya, seseorang
yang hidup dalam lingkungan yang masyarakatnya gemar mabuk-mabukan, maka
ia dapat melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh masyarakat
tersebut.
Pola pikir negatif yang disebabkan oleh pemahaman salah terhadap ajaran
karma akan membuat umat Buddha melakukan perbuatan yang kurang sesuai
dengan ajaran agama Buddha. Misalnya, seseorang berpaham fatalistik dengan
menganggap bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah karena karma. Seseorang
tersebut beranggapan bahwa ia menjadi orang miskin karena akibat karmanya,
maka ia menjadi malas bekerja dan putus asa. Perbuatan yang dilakukan oleh
orang tersebut akan merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Oleh karena itu,
perlu adanya solusi untuk mengubah pola pikir negatif yang disebabkan
pemahaman salah terhadap ajaran karma.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis berusaha untuk mengkaji
permasalahan mengenai pemahaman ajaran karma yang berhubungan dengan pola
pikir masyarakat Buddhis yang disajikan dalam skripsi dengan judul ”Pengaruh
Pemahaman Ajaran Karma terhadap Pola Pikir Masyarakat Buddhis”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan
permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimanakah posisi ajaran karma Buddhis yang mempengaruhi pola pikir
masyarakat Buddhis?
2. Bagaimanakah pengaruh pemahaman ajaran karma terhadap pola pikir
masyarakat Buddhis?
3. Bagaimanakah solusi agama Buddha untuk mengubah pola pikir negatif pada
masyarakat Buddhis yang disebabkan oleh pemahaman ajaran karma?
C. Tujuan Kajian
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Menjelaskan posisi ajaran karma Buddhis yang mempengaruhi pola pikir
masyarakat Buddhis.
2. Menjelaskan pengaruh pemahaman ajaran karma terhadap pola pikir
masyarakat Buddhis.
3. Menjelaskan solusi agama Buddha dalam mengubah pola pikir negatif pada
masyarakat Buddhis yang disebabkan oleh pemahaman ajaran karma.
D. Kegunaan Kajian
Tulisan ini memiliki kegunaan sebagai berikut:
1. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan memberikan wawasan dan pengetahuan
mengenai pemahaman yang benar terhadap ajaran karma agar tidak menimbulkan
pandangan salah yang menyebabkan pola pikir negatif dari masyarakat Buddhis.
2. Secara praktis
Penelitian ini diharapkan mampu mengubah pola pikir negatif pada
masyarakat Buddhis yang disebabkan oleh pemahaman yang salah tentang ajaran
karma.
E. Metode Kajian
Pendekatan yang dipakai dalam tulisan ini adalah penelitian kualitatif
dengan menggunakan metode deskriptif dan kajian pustaka. Penelitian kualitatif
adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental
bergantung dari pengamatan pada manusia baik kawasannya maupun
peristilahannya (Kirk & Miller dalam Moleong, 2005: 4). Penelitian kualitatif juga
diartikan sebagai penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud
menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan
metode yang ada. Dalam penelitian kualitatif, metode yang biasanya dimanfaatkan
adalah wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumen (Denzin & Lincoln
dalam Moleong, 2005: 5). Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis dan
filosofis. Dengan menggunakan pendekatan tersebut, penulis membaca,
menafsirkan, dan menganalisis data yang berkaitan dengan objek penelitian.
Dalam penelitian ini, objek penelitian yang diangkat adalah pemahaman ajaran
karma dan pola pikir masyarakat Buddhis. Penulis menganalisis objek penelitian
dengan cara mengungkap pemahaman benar dan pemahaman salah tentang ajaran
karma yang dapat menyebabkan pola pikir yang positif maupun negatif pada
masyarakat Buddhis. Penulis menghubungkan pemahaman benar dan pemahaman
salah tentang ajaran karma dengan pola pikir masyarakat Buddhis. Pemahaman
yang benar tentang ajaran karma dihubungkan dengan pola pikir yang positif pada
masyarakat Buddhis. Demikian juga dengan pemahaman yang salah tentang
ajaran karma dihubungkan dengan pola pikir yang negatif pada masyarakat
Buddhis.
Metode deskriptif yaitu penelitian yang memberikan gambaran atau uraian
atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang
diteliti (Kountur, 2005: 105). Metode deskriptif juga diartikan sebagai suatu
metode dalam meneliti suatu objek, baik berupa nilai-nilai budaya manusia,
sistem pemikiran filsafat, nilai-nilai etika, nilai karya seni, sekelompok manusia,
peristiwa atau objek budaya lainnya (Kaelan, 2005: 58). Metode deskriptif pada
hakikatnya adalah mencari teori, bukan menguji teori dan menitikberatkan pada
observasi dan suasana alamiah (Hasan, 2002: 22). Sedangkan pengertian kajian
pustaka yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan
data pustaka, membaca, mencatat serta mengolah bahan penelitian (Zed, 2008: 3).
Menurut Hasan (2002: 45), dalam studi kepustakaan seorang peneliti mendalami,
mencermati, menelaah, dan mengidentifikasi pengetahuan yang ada dalam
kepustakaan (sumber bacaan, buku-buku referensi, atau hasil penelitian lain)
untuk menunjang penelitiannya. Melalui studi kepustakaan, penulis mencari dan
mengumpulkan data yang berhubungan dengan ajaran karma dan pola pikir
masyarakat Buddhis.
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan
tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain (Lofland
& Lofland dalam Moleong, 2005: 157). Data yang digunakan adalah data
kualitatif, yaitu data atau informasi berupa deskriptif, naratif, dokumen pribadi,
opini, konsep-konsep, argumentasi atau respon dari responden serta sumber yang
berkaitan atau literatur yang ada relevansinya dengan objek penelitian. Objek
penelitian berupa sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer diperoleh
dari teks-teks/kitab suci Agama Buddha. Sumber sekunder berasal dari buku-buku
Buddhis, buku-buku umum, majalah, jurnal, artikel, data dari internet maupun
data lain yang berhubungan dengan pemahaman ajaran karma dan pola pikir
masyarakat Buddhis.
Setelah melakukan pengumpulan data yang berkenaan dengan objek
penelitian melalui referensi kepustakaan, penulis mempelajarinya dan melakukan
pengolahan data dan analisis data dengan langkah sebagai berikut:
1. Deskripsi Data
Deskripsi adalah pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara
jelas dan terperinci (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 258). Data adalah
keterangan atau bahan nyata yang dapat dijadikan dasar kajian (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 2005: 239). Jadi deskripsi data adalah pemaparan dan
penggambaran dengan jelas dan terperinci dari bahan-bahan yang dapat dijadikan
dasar kajian. Penulis berusaha menjelaskan tentang ajaran karma Buddhis dan
pola pikir masyarakat Buddhis. Setelah itu, penulis melakukan pengembangan
konsep mengenai hal tersebut berdasarkan data yang telah dikumpulkan.
2. Analisis Data
Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya
ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar (Patton dalam Hasan, 2002:
97). Penulis menganalisis data yang telah dikumpulkan dengan membedah
konsep-konsep atau teori-teori yang berkenaan dengan ajaran karma dan pola
pikir masyarakat Buddhis, sehingga memperoleh kejelasan arti atau makna dari
konsep-konsep atau teori-teori tersebut.
F. Definisi Istilah
Untuk memahami dengan jelas dan benar mengenai penggunaan istilah
dalam judul skripsi “Pengaruh Pemahaman Ajaran Karma terhadap Pola Pikir
Masyarakat Buddhis”, maka diperlukan adanya penjelasan istilah-istilah yang
terdapat dalam judul skripsi. Istilah-istilah tersebut akan dijelaskan satu per satu
dan ditarik kesimpulan.
Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda)
yang ikut membentuk watak, kepercayaan, atau perbuatan seseorang (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 2005: 843). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2005: 811), pemahaman adalah proses, cara, perbuatan memahami atau
memahamkan.
Ajaran adalah segala sesuatu yang diajarkan; nasihat; petuah; petunjuk
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 17). Karma adalah perbuatan manusia
ketika hidup di dunia; hukum sebab akibat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005:
509). Karma juga diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh jasmani,
perkataan, dan pikiran yang baik maupun yang jahat (Abhidhammathasaṅgaha,
2005: 277). Jadi ajaran karma adalah ajaran tentang perbuatan manusia yang
berhubungan dengan sebab akibat dan dilakukan melalui jasmani, perkataan, dan
pikiran yang baik maupun yang tidak baik.
Pola adalah bentuk struktur yang tetap, sedangkan pikir adalah akal budi;
ingatan; angan-angan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 885, 872). Pola
pikir adalah kerangka berpikir (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 885). Jadi
pola pikir adalah bentuk pemikiran atau kerangka pemikiran seseorang.
Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat
oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2005: 721). Menurut Naylor, Thomas H. dkk. (1996: 124), masyarakat
adalah kemitraan orang-orang bebas yang punya komitmen kepada saling
perawatan dan pemeliharaan pikiran, tubuh, hati, dan jiwa yang satu dan lainnya
melalui sarana keikutsertaan. Buddhis adalah penganut Buddhisme (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 2005: 170). Buddhisme adalah ajaran yang dikembangkan oleh
Sidharta Gautama yang antara lain mengajarkan bahwa kesengsaraan adalah
bagian kehidupan yang tidak terpisahkan dan orang dapat membebaskan diri dari
kesengsaraan dengan menyucikan mental dan moral diri pribadi (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 2005: 170). Buddhis dapat diartikan sebagai umat Buddha,
yaitu orang yang berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha (Kompilasi
Istilah Buddhis, 2005: 29). Jadi masyarakat Buddhis adalah sekelompok orang
yang beragama Buddha atau dapat diartikan sebagai umat Buddha.
Berdasarkan definisi istilah di atas dapat dipertegas bahwa maksud dari
skripsi dengan judul “Pengaruh Pemahaman Ajaran Karma terhadap Pola Pikir
Masyarakat Buddhis” adalah daya yang ditimbulkan dari cara memahami ajaran
sebab akibat yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang dilakukan
melalui jasmani, perkataan, dan pikiran yang baik maupun yang tidak baik
terhadap kerangka berpikir atau pemikiran dari umat Buddha.


BAB II
POSISI AJARAN KARMA BUDDHIS
YANG BERPENGARUH TERHADAP
POLA PIKIR MASYARAKAT BUDDHIS
Ajaran karma merupakan salah satu ajaran dasar yang diajarkan oleh
Buddha. Umat Buddha kebanyakan mengenal ajaran karma dari ceramah-ceramah
di vihāra maupun dari literatur Buddhis. Ajaran karma yang diterima oleh umat
Buddha akan mempengaruhi pola pikir mereka dalam berbuat dan bertingkah
laku. Dalam bab ini akan dibahas lebih lanjut tentang posisi ajaran karma yang
mempengaruhi pola pikir masyarakat Buddhis.
A. Ajaran Karma Buddhis
1. Pengertian Karma dan Sebab Karma
a. Pengertian Karma
Kata ”kamma” yang berasal dari bahasa Pāli atau ”karma” yang berasal
dari bahasa Sanskerta, secara harafiah diartikan sebagai perbuatan, aksi, atau
tindakan. Menurut Buddhist Dictionary, (Tanpa tahun: 17), karma (Sanskerta),
kamma (Pāli): ”action”, correctly speaking denotes the wholesome and
unwholesome volitions (kusala and akusala-cetanā) and their concomitant mental
factors, causing rebirth, and shaping the destiny of beings. Perbuatan (karma)
terdiri dari kehendak baik (kusala-cetanā) dan kehendak tidak baik (akusalacetanā)
yang muncul bersama dengan faktor-faktor mental (cetasika). Cetasika
adalah bentuk-bentuk batin atau faktor-faktor mental yang berjumlah lima puluh
dua jenis (Mettadewi, 1994: 97). Sebagai contoh misalnya kehendak tidak baik
yang muncul dalam diri seseorang adalah kehendak ingin membunuh binatang.
Kehendak tersebut akan muncul bersama dengan beberapa bentuk batin
(cetasika), antara lain kontak (phassa), kebencian (dosa), dan pandangan salah
yang menganggap benar terhadap sesuatu yang salah (diṭṭhi). Seseorang yang
akan membunuh binatang pasti akan terjadi kontak (phassa). Kontak yang
dimaksud adalah indera mata kontak dengan objek bentuk yaitu binatang.
Kebencian (dosa) atau rasa tidak suka dengan binatang juga akan muncul pada
saat seseorang memiliki keinginan untuk membunuh. Pada saat itu juga,
pandangan salah (diṭṭhi) muncul untuk mendorong seseorang membunuh
binatang.
Menurut Piyadassi (1991: 118-119), karma adalah perbuatan yang
dilakukan dengan kehendak (saṅkhāra) yang dilakukan melalui badan jasmani
(kāya kamma), perkataan (vaci kamma), dan pikiran (mano kamma). Perbuatan
(karma) yang dilakukan melalui badan jasmani (kāya kamma), perkataan (vaci
kamma), dan pikiran (mano kamma) bersifat baik (kusala) maupun tidak baik
(akusala). Perbuatan baik maupun tidak baik yang dilakukan melalui badan
jasmani contohnya membunuh, mencuri, berdana, dan menolong orang yang sakit.
Perbuatan yang dilakukan melalui perkataan yang bersifat baik maupun tidak baik
contohnya berbohong, memfitnah, memberikan selamat atas keberhasilan
seseorang, dan memberikan pujian. Perbuatan yang dilakukan melalui pikiran
yang baik maupun tidak baik contohnya memiliki keinginan untuk membunuh,
keinginan untuk menfitnah, keinginan untuk menolong orang, dan keinginan
untuk berdana. Seseorang yang memiliki keinginan dalam dirinya, maka
seseorang tersebut telah melakukan perbuatan (karma) melalui pikiran. Apabila
keinginan tersebut dilakukan, maka keinginan tersebut akan menjadi perbuatan
(karma) dilakukan melalui badan jasmani dan perkataan. Perbuatan (karma) yang
dilakukan seseorang melalui badan jasmani (kāya kamma), perkataan (vaci
kamma), dan pikiran (mano kamma) bersifat baik (kusala) maupun tidak baik
(akusala) akan menimbulkan akibat sesuai dengan kualitas perbuatannya.
Menurut Dhammananda (1964: 124-125), karma adalah suatu proses, aksi,
energi, dan daya. Karma merupakan suatu proses dari sebab dan akibat. Perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang akan menimbulkan suatu akibat. Suatu akibat
tersebut akan menjadi sebab untuk menimbulkan suatu akibat yang baru, sehingga
karma disebut sebagai suatu proses dari sebab dan akibat yang saling
berhubungan. Karma juga disebut sebagai aksi mental atau kehendak (cetanā)
yang dilakukan oleh seseorang. Perbuatan (karma) yang dilakukan oleh seseorang
karena adanya aksi mental atau kehendak (cetanā) akan bereaksi atau berakibat
pada dirinya sendiri dan bukan berakibat pada orang lain. Kebahagiaan dan
penderitaan yang dialami oleh seseorang merupakan hasil dari perbuatan (karma)
yang dilakukannya sendiri melalui badan jasmani, perkataan, dan pikiran. Selain
itu, karma disebut sebagai suatu energi atau daya karena perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang akan memiliki kekuatan atau energi untuk menghasilkan
akibat. Suatu perbuatan yang telah dilakukan seseorang pasti akan akan
menimbulkan suatu akibat.
Dalam Aṅguttara Nikāya III (Hare, 2001: 294), Buddha mengatakan “I
declare o bhikkhus, determinate thought is action. When one determiners, one
acts by deed, word or thought”. Kehendak atau niat untuk berbuat (cetanā)
disebut sebagai kamma (cetanāham bhikkhave kammaṁ vadāmi). Kehendak
(cetanā) yang muncul dalam diri seseorang akan mengakibatkan seseorang
melakukan perbuatan (karma) melalui badan jasmani, perkataan, dan pikiran.
Segala bentuk perbuatan yang didasari oleh kehendak atau niat (cetanā) disebut
sebagai kamma. Sebaliknya perbuatan yang dilakukan dengan tidak sadar, tidak
disengaja, dan tidak disertai dengan kehendak atau niat (cetanā) tidak dapat
disebut sebagai kamma. Terdapat pengecualian, yaitu perbuatan yang dilakukan
oleh Buddha dan arahat tidak dapat disebut sebagai kamma meskipun disertai
dengan kehendak atau niat (Narada, 1988: 348). Perbuatan yang dilakukan oleh
Buddha dan arahat telah terbebas dari kekotoran batin (kilesa). Kekotoran batin
tersebut terdiri dari keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin
atau kegelapan batin (moha) yang disebut juga sebagai penyebab dari karma. Hal
tersebut diungkapkan oleh Buddha dalam Saṁyutta Nikāya II (Bodhi, 2000:
1295): ”The destruction of lust, destruction of hatred, destruction of delusion, is
called arahantship”. Para Buddha dan arahat telah menghentikan proses karma
karena telah menghancurkan sebab karma, oleh karena itu tidak akan memetik
hasil dari perbuatan yang telah dilakukan. Menurut Buddhadāsa (Tanpa Tahun:
23), perbuatan yang dilakukan oleh Buddha dan arahat bukan merupakan suatu
karma yang dapat menimbulkan akibat, tetapi disebut sebagai kiriyā dan hasil dari
kiriyā disebut paṭikiriyā. Dalam Kamma Sutta, Udāna (Masefield, 1997: 39)
Buddha mengatakan: “For the monk who has given up all kamma, who is shaking
off dust created earlier, for that one with none of mine, steadfast, constant, there
is no need to address folk”. Seorang bhikkhu yang telah menghentikan proses
karma dan menghentikan kekotoran batin memiliki pikiran yang tenang meskipun
ia mengalami kesakitan akibat perbuatan (karma) yang telah dilakukannya dahulu.
Seorang bhikkhu yang telah mencapai arahat meskipun mengalami kesakitan
secara fisik tetapi pikiran dan batinnya tetap tenang dan tidak mengalami
kesakitan secara batin.
Menurut Janakabhivamsa (Tanpa tahun: 205), karma adalah
cetanā/saṅkhāra (niat atau kehendak) karena cetanā yang mendorong seseorang
melakukan perbuatan (karma) baik maupun perbuatan tidak baik. Semua makhluk
kecuali Buddha dan arahat akan bertanggung jawab menuntaskan setiap
perbuatan (karma) yang telah dilakukan. Perbuatan (karma) yang dilakukan tidak
akan padam dan mengakibatkan penderitaan sebelum hasil atau akibatnya dialami.
Sebagai contoh dalam Cūḷakammavibhaṅga Sutta, Majjhima Nikāya III (Horner,
1999: 249-250), Buddha menjelaskan bahwa seseorang yang melakukan
perbuatan (karma) buruk, yaitu membunuh makhluk hidup maka ia akan
menanggung akibat buruk atas perbuatan tersebut. Karma buruk yang
dilakukannya tidak akan hilang atau padam sebelum orang tersebut menerima
akibat dari perbuatan buruk yang telah dilakukan. Akibat buruk yang akan
diterimanya adalah bila terlahir kembali akan berumur pendek, dan terlahir di
alam yang diliputi penderitaan atau di alam neraka. Dalam Aṅguttara Nikāya V
(Woodward, 2003: 189), Buddha mengatakan:
I declare, monks, that of intentional deeds done and accumulated there
can be no wiping out without experiencing the result thereof, and that too
when ever arising, either in this same visible state or in some other state
hereafter. I declare, monks, that is no ending of Ill as regards intentional
deeds done and accumulated without experiencing the results thereof.
Karma merupakan suatu hukum alam (niyāma) yang bekerja dengan
sendirinya tanpa adanya suatu yang mengatur (pengatur eksternal), misalnya
Tuhan atau para dewa. Hukum karma (kamma niyāma) adalah hukum alam yang
berkerja sesuai dengan tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Hukum karma
bukanlah suatu nasib atau takdir yang diberikan oleh kekuatan atau pengatur
eksternal. Hukum karma disebut sebagai rangkaian kamma dan vipāka atau
disebut sebagai proses sebab akibat dari suatu perbuatan atau tindakan.
Kebahagiaan dan penderitaan yang dialami oleh seseorang merupakan suatu
akibat dari suatu sebab dan bukan suatu hadiah ataupun hukuman yang diberikan
oleh suatu kekuatan. Kebahagiaan dan penderitaan yang dialami oleh seseorang
disebabkan oleh akibat (vipāka) dari perbuatan (kamma) yang telah dilakukan.
Perbuatan (karma) yang dilakukan oleh seseorang sangat ditentukan oleh
pikiran. Seseorang yang memiliki pikiran buruk maka akan melakukan perbuatan
(karma) buruk melalui perkataan maupun badan jasmani. Demikian juga
sebaliknya, apabila seseorang memiliki pikiran baik maka akan melakukan
perbuatan (karma) baik melalui perkataan maupun badan jasmani. Dalam
Dhammapada (Norman, 2004: 1), Buddha menjelaskan:
Mental phenomena are preceded by mind, have mind as their leader, are
made by mind. If one acts or speaks with on evil mind, from that sorrow
follows him, as the well follows the foot of the ox.
Mental phenomena are preceded by mind, have mind as their leader, are
made by mind. If one acts or speaks with a pure mind, from that happiness
follows him, like a shadow not going away.
Pikiran memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan
seseorang melakukan suatu perbuatan melalui perkataan dan badan jasmani.
Misalnya seseorang memiliki kebencian terhadap orang lain, maka akan
melakukan perbuatan melalui perkataan dan badan jasmani. Perbuatan yang
dilakukan melalui perkataan adalah menghina, menftnah, mencaci-maki, dan
berkata kasar terhadap orang yang dibencinya. Perbuatan yang dilakukan melalui
badan jasmani misalnya berusaha mencelakai dan bahkan membunuh orang
tersebut.
Karma bukan hanya perbuatan yang dilakukan di masa lalu, tetapi
mencakup perbuatan yang dilakukan di masa lalu maupun perbuatan yang
dilakukan pada saat ini. Segala bentuk perbuatan yang disertai dengan kehendak
atau niat (cetanā) yang dilakukan melalui pikiran, perkataan, dan badan jasmani
yang telah dilakukan pada masa sekarang maupun pada masa lalu disebut sebagai
karma.
Perbuatan, aksi, atau tindakan yang dilakukan disertai dengan niat atau
kehendak (cetanā) disebut dengan karma, sedangkan hasil atau akibat dari
perbuatan disebut sebagai vipāka. Seseorang tidak akan dapat menghindar dari
akibat karma (kamma vipāka) yang telah dilakukannya. Dalam Dhammapada
(Norman, 2004: 19) Buddha menyatakan: “Not in sky, not in the middle of the
sea, not entering on opening in the mountain is there that place on earth where
standing one might be freed from evil action”. Meskipun seseorang bersembunyi
di tempat yang aman dan jauh dari keramaian, tetapi tidak akan dapat menghindar
dari akibat karma yang telah dilakukan. Dalam Kumaraka Sutta, Udāna
(Masefield, 1997: 92), Buddha mengatakan bahwa:
If you have fear of dukkha, if dukkha is distasteful for you, then do not
perform that which is evil either openly or in hiding; whilst if you go on to
perform an evil deed or perform one now, then there can be for you no
release from dukkha, even when deliberately running away.
Buddha mengatakan bahwa seseorang yang takut dengan penderitaan dan tidak
mau mengalami penderitaan, maka tidak boleh melakukan perbuatan tidak baik
atau buruk. Apabila seseorang telah melakukan perbuatan buruk, maka ia tidak
akan bisa lari atau menghindar dari penderitaan akibat dari perbuatan buruk yang
dilakukan.
Seseorang yang telah melakukan perbuatan jahat, maka ia sendiri yang
akan menerima akibat dari karma yang telah dilakukan. Perbuatan yang jahat yang
telah dilakukannya tidak akan berakibat orang lain, tetapi berakibat pada dirinya
sendiri. Hal tersebut dikatakan oleh Buddha dalam Devadūta Sutta, Majjhima
Nikāya III (Horner, 1999: 225) bahwa: “This evil deed was done by you; it is you
yourself that will experience its ripening”.
b. Sebab-Sebab yang Mempengaruhi Karma
Suatu perbuatan (karma) yang dilakukan oleh seseorang karena adanya
sebab yang mempengaruhinya. Karma bukan hanya sebagai sebab untuk
menimbulkan akibat (vipāka), tetapi juga sebagai akibat dari suatu hal. Karma
yang dilakukan seseorang diakibatkan oleh beberapa sebab yang mempengaruhi.
Menurut Kalupahana (1975: 46), tingkah laku atau perbuatan (karma) seseorang
ditentukan atau disebabkan oleh tiga faktor, yaitu rangsangan luar, motif yang
disadari, dan motif yang tidak disadari. Perbuatan (karma) yang dilakukan
seseorang didasari oleh salah satu dari ketiga faktor tersebut.
Perbuatan (karma) yang disebabkan oleh rangsangan luar dipengaruhi oleh
kontak (phassa). Dalam Aṅguttara Nikāya III (Hare, 2001: 294), Buddha
menjawab pertanyaan dari para bhikkhu: “What is actions’ tie-source? Contact,
monks”. Kontak (phassa) merupakan penyebab dari perbuatan (karma). Kontak
yang dimaksud adalah enam landasan indera yaitu mata, telinga, hidung, lidah,
tubuh, dan pikiran mengalami kontak dengan objek. Indera mata (cakkhu) kontak
dengan objek bentuk (rūpa), telinga (sota) kontak dengan objek suara (sadda),
hidung (ghāna) kontak dengan objek bau (gandha), lidah (jivhā) kontak dengan
objek rasa (rasa), tubuh atau badan jasmani (kāya) kontak dengan objek sentuhan
(phoṭṭabba), dan pikiran (mano) kontak dengan objek kesan-kesan batin
(dhamma). Perbuatan yang dipengaruhi oleh rangsangan dari luar contohnya
adalah gerak refleks. Contoh dari gerak refleks terdapat di dalam Kosambiya
Sutta, Majjhima Nikāya I (Horner, 2000: 386): “Just as an innocent little baby
lying on its back quickly draws back its hand or foot if it has touched a live
ember”. Seorang bayi yang menyentuh api dengan tangan maka dengan cepat
akan menarik tangannya dari api tersebut. Hal tersebut menunjukkan indera
peraba dari tubuh mengalami kontak dengan api. Perbuatan yang dilakukan bayi
tersebut disebabkan oleh rangsangan dari luar, yaitu api.
Dalam Madhupiṇḍika Sutta, Majjhima Nikāya I (Horner, 2000: 145),
Buddha mengatakan bahwa:
Visual consciousness (viññāna), your reverences, arises because of eye
and material shapes; the meeting of the three is sensory impingement
(phassa); feelings (vedanā) are because of sensory impingement; what one
feels one perceives; what one perceives one reason about (vitakketi); what
one reasons about obsesses one; what obsesses one is the origin of the
number of perceptions and obsessions which assail a man in regard to
material shapes cognisable by the eye, past, future, and present. And, your
reverences, auditory consciousness arises because of ear and sound…And,
your reverences, olfactory consciousness arises because of nose and
smells…And, your reverences, gustatory consciousness arises because of
tongue and tastes…And, your reverences, bodily consciousness arises
because of body and touches…And, your reverences, mental consciousness
arises because of mind and mental object…
Enam landasan indera (mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan pikiran)
mengalami kontak (phassa) dengan objek (bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan, dan
kesan-kesan batin), maka akan menimbulkan kesadaran melihat, mendengar,
membau, mengecap, sentuhan, dan pikiran. Dengan munculnya kesadaran, maka
timbullah perasaan (menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral). Dengan
munculnya perasaan, maka akan timbul obsesi atau keinginan pada objek. Obsesi
tersebut membuat seseorang melakukan suatu perbuatan (karma). Sebagai contoh,
seseorang yang melihat makanan enak, indera matanya kontak dengan objek
bentuk, yaitu makanan sehingga terjadi kesadaran melihat. Dengan adanya
kesadaran melihat, maka muncul perasaan yang menyenangkan untuk memakan
makanan tersebut. Dengan munculnya perasaan menyenangkan terhadap
makanan, maka akan memunculkan obsesi atau keinginan untuk memakan
makanan tersebut. Munculnya obsesi atau keinginan tersebut membuat seseorang
melakukan suatu perbuatan, yaitu memakan makanan enak tersebut. Hal tersebut
merupakan proses terjadinya suatu perbuatan yang dipengaruhi oleh rangsangan
dari luar karena adanya kontak (phassa).
Kalupahana (1975: 46) menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan
dengan motif yang disadari terdiri dari tiga akar penyebab karma buruk dan tiga
akar penyebab karma baik. Tiga akar penyebab karma buruk, yaitu keserakahan
(lobha), kebencian (dosa) dan kebodohan batin atau kegelapan batin (moha). Tiga
akar penyebab karma baik, yaitu tanpa keserakahan (alobha), tanpa kebencian
(adosa), dan tanpa kebodohan batin (amoha). Tiga akar penyebab karma baik
terdapat dalam Aṅguttara Nikāya I (Woodward, 2000: 241-242): “Monks, there
are these three originating causes of action. What three? Freedom from lust,
malice, and delusion”. Dalam Aṅguttara Nikāya III (Hare, 2001: 239), Buddha
juga mengatakan tiga akar penyebab karma baik: “Monks, there are these three
means to heap up deeds. What three? Not greed is a means to heap up deeds; not
hate is a means to heap up deeds; non delusion is a means to heap up deeds”.
Tiga akar penyebab perbuatan tidak baik terdapat dalam Aṅguttara Nikāya I
(Woodward, 2000: 117-118): “Monks, there are these three originating causes of
action. What three? Lust, malice, and delusion”. Tiga akar penyebab perbuatan
tidak baik juga terdapat dalam Aṅguttara Nikāya III (Hare, 2001: 239), Buddha
mengatakan: “Monks, there are these three means to heap up deeds. What three?
Greed is a means to heap up deeds; hate is a means to heap up deeds; delusion is
a means to heap up deeds”.
Tiga akar penyebab karma tidak baik yang terdiri dari keserakahan
(lobha), kebencian (dosa) dan kebodohan batin atau kegelapan batin (moha)
merupakan akar dari perbuatan buruk yang dilakukan seseorang. Keserakahan
(lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha) membuat seseorang
melakukan perbuatan tidak baik contohnya membunuh saudara sendiri untuk
menguasai kekayaannya (lobha), membunuh seseorang karena sering direndahkan
(dosa), dan membunuh karena tidak mengetahui bahwa membunuh adalah
perbuatan yang tidak baik (moha). Segala bentuk perbuatan tidak baik akarnya
adalah keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha).
Sebaliknya tanpa keserakahan (alobha), tanpa kebencian (adosa), dan tanpa
kebodohan batin (amoha) membuat seseorang melakukan perbuatan baik,
contohnya sering berdana di vihāra (alobha), menolong binatang yang sedang
kesakitan (adosa), dan menolong teman yang sedang kesusahan dengan memiliki
pengertian bahwa yang dilakukan adalah hal yang benar (amoha). Segala bentuk
perbuatan baik akarnya adalah tanpa keserakahan (alobha), tanpa kebencian
(adosa), dan tanpa kebodohan batin (amoha).
Perbuatan yang dilakukan dengan motif yang tidak disadari antara lain
adalah keinginan untuk hidup kekal (jīvitukāma) dan keinginan untuk menghindar
dari kematian (amaritukāma). Keinginan untuk hidup kekal dan tidak
menginginkan kematian terdapat dalam diri seseorang. Hal tersebut dapat
dibuktikan ketika seseorang terancam kehidupannya. Contohnya ketika seseorang
akan dibunuh oleh orang lain, maka ia akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk
menghindar dari orang yang ingin membunuhnya. Selain itu, terdapat keinginan
untuk menikmati kesenangan (sukhakama) dan penghindaran dari kesakitan
(dukkhapaṭikkāla). Keinginan untuk menikmati kesenangan dan menghindar dari
kesakitan terdapat dalam diri seseorang. Seseorang tidak akan mau mengalami
kesakitan dan selalu menginginkan kesenangan dan kebahagiaan. Motif-motif
tersebut meskipun tidak disadari, tetapi dihasilkan dari pandangan keliru terhadap
keberadaan manusia. Oleh karena itu, seseorang akan menerima akibat dari
perbuatan yang dilakukannya.
Menurut Narada (1988: 356), ketidak-tahuan (avijjā) atau tidak memahami
segala sesuatu sebagaimana adanya merupakan sebab utama yang menyebabkan
karma. Hal tersebut didasarkan pada penjelasan dalam paṭiccasamuppāda (hukum
sebab musabab yang saling bergantungan). Dengan adanya ketidak-tahuan maka
timbullah bentuk-bentuk karma (avijjā paccaya saṅkhāra). Dengan adanya
ketidak-tahuan dalam diri seseorang, maka akan melakukan perbuatan tidak baik
(akusala-kamma). Selain ketidak-tahuan (avijjā), nafsu keinginan (taṇhā) juga
merupakan sebab yang menimbulkan suatu perbuatan (karma). Ketidak-tahuan
(avijjā) dan nafsu keinginan (taṇhā) merupakan akar dari perbuatan jahat atau
tidak baik. Seseorang yang diliputi ketidak-tahuan dan nafsu keinginan maka akan
melakukan perbuatan yang tidak baik yang akan menimbulkan penderitaan bagi
dirinya sendiri. Tiga akar perbuatan baik, yaitu tanpa keserakahan (alobha), tanpa
kebencian (adosa), dan tanpa kebodohan batin (amoha) merupakan sebab yang
menimbulkan perbuatan (karma) baik. Seseorang yang diliputi tanpa keserakahan
(alobha), tanpa kebencian (adosa), dan tanpa kebodohan batin (amoha) dalam
dirinya, maka akan melakukan perbuatan baik yang akan berakibat kebahagiaan
bagi dirinya sendiri.
Santina (1997: 132) berpendapat bahwa seseorang melakukan tindakan
(karma) karena memiliki kilesa (kekotoran batin). Dalam konteks ini, kilesa yang
dimaksud bukan keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin atau
kegelapan batin (moha), tetapi ketidaktahuan (avijjā), keinginan (taṇhā), dan
kemelekatan (upādāna). Tiga sebab karma tersebut didasarkan atas
paṭiccasamuppāda. Ketidaktahuan (avijjā) akan menimbulkan bentuk-bentuk
karma (saṅkhāra). Ketidaktahuan tersebut antara lain adalah ketidaktahuan
terhadap empat kebenaran mulia dan ketidaktahuan terhadap mana yang benar dan
mana yang salah. Misalnya, seseorang menganggap bahwa membunuh binatang
bukan suatu perbuatan yang salah, maka akibatnya akan melakukan pembunuhan
terhadap binatang. Perbuatan tersebut dalam paṭiccasamuppāda disebut sebagai
perbuatan masa lampau. Keinginan (taṇhā), dan kemelekatan (upādāna)
merupakan sebab yang akan menimbulkan bhava (perwujudan). Kaharuddin
(2004: 296) menjelaskan dua macam bhava, yaitu kammabhava (proses karma,
yaitu bentuk-bentuk karma yang dapat menyebabkan kelahiran kembali) dan
uppatibhava (proses kelahiran kembali akibat dari bentuk-bentuk karma yang
dilakukan). Dalam hal ini, keinginan dan kemelekatan akan menimbulkan
kammabhava, yaitu proses karma (bentuk-bentuk karma). Sebagai contoh,
seseorang yang memiliki keinginan (taṇhā), yaitu keinginan untuk memiliki
perhiasan yang mewah, jika hal tersebut terus-menerus dilakukan maka akan
menimbulkan kemelekatan (upādāna). Keinginan dan kemelekatan terhadap
perhiasan mewah membuat seseorang melakukan berbagai bentuk perbuatan.
Misalnya, bila tidak memiliki uang untuk membeli perhiasan mewah, maka akan
melakukan perbuatan buruk yaitu mencuri uang. Perbuatan yang menimbulkan
perwujudan (bhava) atau lebih tepatnya kammabhava dalam paṭiccasamuppāda
disebut sebagai perbuatan sekarang.
Menurut Story (Tanpa tahun: 1), setiap tindakan atau perbuatan (karma)
dilakukan oleh seseorang karena adanya keinginan untuk memperoleh suatu hasil.
Perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang pasti memiliki suatu
tujuan. Keinginan meskipun kadarnya lemah merupakan suatu bentuk nafsu.
Nafsu keinginan (taṇhā) terdiri dari dua jenis, yaitu keinginan akan keberadaan
dan keinginan akan tindakan (karma). Keinginan akan keberadaan merupakan
keinginan untuk hidup di alam-alam kehidupan. Keinginan akan tindakan adalah
keinginan untuk melakukan perbuatan yang didorong oleh nafsu keinginan.
Dalam Mahāvagga, Vinaya Piṭaka IV (Horner, 2000: 16), Buddha mengatakan
bahwa: ”Craving connected with again-becoming, accompanied by delight and
passion, finding delight in this and that, that is to say: craving for sensepleasures,
craving for becoming, craving for de-becoming”. Buddha menjelaskan
ada tiga macam nafsu keinginan, yaitu nafsu keinginan duniawi (kāma taṇhā),
nafsu keinginan akan kehidupan atau perwujudan (bhava taṇhā), dan nafsu
keinginan akan kemusnahan (vibhava taṇhā). Nafsu keinginan (taṇhā) duniawi
menyebabkan seseorang mencari kesenangan duniawi seperti memakan makanan
enak, melihat pertunjukan musik, dan belanja pakaian bagus. Nafsu keinginan
akan kehidupan atau perwujudan (bhava taṇhā) adalah keinginan untuk hidup
dalam alam-alam kehidupan yang diliputi kesenangan. Nafsu keinginan akan
kemusnahan (vibhava taṇhā) merupakan bentuk keinginan untuk tidak dilahirkan
di alam-alam kehidupan. Nafsu keinginan (taṇhā) inilah yang menyebabkan
seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada hentinya dan menyebabkan
penderitaan.
2. Karma Sebagai Hukum Sebab-akibat
Setiap tindakan, aksi, atau perbuatan (karma) akan menghasilkan suatu
akibat atau reaksi (vipāka). Perbuatan (kamma) merupakan sebab untuk
menimbulkan akibat (vipāka), sedangkan vipāka adalah akibat yang ditimbulkan
oleh kamma. Oleh karena itu, kamma dan vipāka adalah rangkaian proses sebab
akibat dan disebut sebagai hukum sebab akibat. Buddha dalam Saṁyutta Nikāya I
(Bodhi, 2000: 328) menyatakan:
Whatever sort of seed is sown, that is the sort of fruit one reaps: the doer
of good reaps good; the doer of evil reaps evil. By you dear, has the seed
been sown; thus you will experience the fruit.
Seseorang yang melakukan perbuatan baik akan memetik hasil perbuatan
baik yang dilakukannya. Demikian pula dengan seseorang yang melakukan
perbuatan tidak baik maka akan memetik hasil dari perbuatan tidak baik yang
telah dilakukan. Misalnya, seseorang melakukan perbuatan buruk yaitu berbohong
kepada orang lain, maka akibatnya akan memetik hasil yang buruk yaitu tidak
dipercaya oleh orang lain. Sebaliknya seseorang yang melakukan perbuatan baik
yaitu suka menolong teman yang sedang kesusahan, maka akibatnya akan
memetik hasil yang baik yaitu memiliki banyak teman.
Dalam Cūḷakammavibhaṅga Sutta, Majjhima Nikāya III (Horner, 2000:
249-252), Buddha memberikan uraian mengenai macam-macam karma tertentu
yang akan menghasilkan akibat-akibat tertentu. Buddha menjelaskan tujuh
perbuatan baik yang berakibat baik dan tujuh perbuatan tidak baik yang berakibat
tidak baik. Tujuh perbuatan baik yang berakibat baik, yaitu cinta kasih terhadap
semua makhluk mengakibatkan umur panjang; kasih sayang terhadap semua
makhluk mengakibatkan hidup sehat; tidak pemarah dan tidak membenci
mengakibatkan wajah cantik dan menarik; bersimpati kepada makhluk lain
mengakibatkan memiliki kekuasaan; murah hati menyebabkan memiliki banyak
kekayaan; kerendahan hati menyebabkan terlahir dalam keluarga yang memiliki
kedudukan sosial yang tinggi; dan bersemangat memperoleh pengetahuan baru
mengakibatkan kecerdasan dan kebijaksanaan. Tujuh perbuatan tidak baik yang
berakibat tidak baik, yaitu membunuh makhluk hidup mengakibatkan berumur
pendek; menyiksa makhluk hidup mengakibatkan hidup sakit-sakitan; pemarah
dan suka membenci mengakibatkan memiliki wajah dan tubuh yang jelek; iri hati
mengakibatkan tidak memiliki kekuasaan; kikir dan mementingkan diri sendiri
mengakibatkan kemiskinan; kesombongan mengakibatkan terlahir dalam keluarga
yang memiliki kedudukan sosial yang rendah; dan kemalasan untuk memperoleh
pengetahuan baru mengakibatkan kebodohan. Perbuatan baik dan tidak baik
tersebut didasari oleh tiga akar perbuatan baik (tanpa keserakahan, tanpa
kebencian, dan tanpa kebodohan batin) dan tiga akar perbuatan tidak baik
(keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin) serta dilakukan melalui pikiran,
ucapan, dan badan jasmani. Hal tersebut menunjukkan sebab akibat dari perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang.
Buddha mengatakan dalam Aṅguttara Nikāya III (Hare, 2001: 294):
“There is action that experience in hell, in beast’s womb, to the realm of the
departed, to the world of man and to the deva-world”. Semua makhluk bukan
hanya manusia saja yang melakukan perbuatan (karma) baik maupun tidak baik
akan mengakibatkan kelahiran kembali di alam-alam kehidupan (31 alam
kehidupan). Alam kehidupan tersebut antara lain alam manusia, alam dewa, alam
brahma, alam binatang, dan alam neraka. Seseorang yang melakukan tiga akar
perbuatan tidak baik, yaitu keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan kebodohan
batin atau kegelapan batin (moha) akan terlahir di alam yang tidak menyenangkan
atau diliputi penderitaan. Dalam Lobha Sutta, Dosa Sutta, dan Moha Sutta,
Ittivuttaka (Masefield, 2001: 1-2), Buddha mengatakan:
That greed, by means of which greed beings who are greedy go to a
miserable destiny (Lobha Sutta).
That hatred, by means of hatred beings who hate go to a miserable destiny
(Dosa Sutta).
That delusion, by means of which delusion deluded beings go to a
miserable destiny (Moha Sutta).
Seseorang yang berbuat tidak baik akan terlahir di alam neraka. Perbuatan
tidak baik yang dimaksud adalah melakukan pembunuhan, pencurian, perzinahan
dan melakukan ucapan tidak benar, yaitu berdusta, menfitnah, berbicara kasar dan
berbicara hal-hal yang tidak perlu. Selain itu, perbuatan tidak baik tersebut adalah
memiliki nafsu keinginan, kemauan jahat, dan memiliki pandangan salah.
Perbuatan baik yang akan mengakibatkan seseorang terlahir di alam neraka
tersebut terdapat di dalam Saṁyutta Nikāya II (Bodhi, 2000: 1288): ”She destroys
life, takes what is not given, engages in sexual misconduct, speaks falsehood, and
indulges in wine, liquor, and intoxicants that cause negligence, she reborn in a
state misery, in bad destination, in the nether world, in hell”.
Sebaliknya seseorang yang berbuat baik akan terlahir di alam surga.
Perbuatan baik tersebut adalah menahan diri dari pembunuhan, pencurian,
perzinahan, berbohong, menfitnah, berbicara kasar, dan berbicara hal-hal yang
tidak perlu. Selain itu, perbuatan baik yang dimaksud adalah tidak memiliki nafsu
keinginan, tidak memiliki kemauan jahat, dan berpandangan benar. Perbuatan
baik yang akan membuat seseorang terlahir di alam surga tersebut terdapat dalam
Saṁyutta Nikāya II (Bodhi, 2000: 1289):
She abstain from the destruction of life, abstain from taking what is not
given, abstain from sexual misconduct, abstain from false speech, abstain
from wine, liquor, and intoxicants that cause negligence, she reborn in a
good destination, in a heavenly world.
Buddha juga mengatakan bahwa seseorang yang tidak melakukan tindakan atau
perbuatan buruk dan banyak melakukan perbuatan baik, maka setelah meninggal
akan terlahir di alam surga. Hal tersebut terdapat di dalam Atapanīya Sutta,
Ittivuttaka (Masefield, 2001: 27): “Having failed to perform an unskilled deed,
having performed in abundance that which is skilled, this one, possessing insight,
following the breaking up of the body arises in heaven”. Pernyataan di atas
menjelaskan bahwa hukum karma memuat ajaran tentang sebab akibat dari
perbuatan yang dilakukan oleh suatu makhluk.
3. Pembagian Karma
Perbuatan (karma) dapat dibedakan menjadi bermacam-macam menurut
sudut pandangnya. Pembagian karma tersebut didasarkan atas ajaran-ajaran
Buddha yang membahas tentang karma. Para cendekiawan Buddhis mempunyai
beberapa pandangan tentang pembagian karma.
Piyadassi (1991: 118) menjelaskan tiga jenis karma menurut salurannya,
yaitu perbuatan yang dilakukan melalui badan jasmani (kāya kamma), perbuatan
yang dilakukan melalui perkataan atau ucapan (vaci kamma), dan perbuatan yang
dilakukan melalui pikiran (mano kamma). Tiga jenis karma tersebut terdapat
dalam Aṅguttara Nikāya II (Woodward, 2001: 163-164):
Where there is bodily action, there arises to the self pleasure or pain
caused by intention of bodily action. Or, monks, here there is action of
speech, there arises to the self pleasure or pain caused by intentional
action of speech. Or, monks, where there is thought, there arises to the self
pleasure or pain caused by intentional action of thought.
Perbuatan tersebut meliputi perbuatan baik (kusala kamma) dan perbuatan tidak
baik (akusala kamma). Perbuatan baik dapat dilakukan melalui badan jasmani
(kusala kāya kamma), perkataan (kusala vaci kamma), dan pikiran (kusala mano
kamma). Tiga jenis perbuatan baik tersebut terdapat dalam Succarita Sutta,
Ittivuttaka (Masefield, 2001: 54): “These three, monks, are the good conducts.
Which three? Bodily good conduct, verbal good conduct, mental good conduct”.
Perbuatan tidak baik dapat dilakukan melalui badan jasmani (akusala kāya
kamma), perkataan (akusala vaci kamma), dan pikiran (akusala mano kamma).
Tiga jenis perbuatan tidak baik tersebut terdapat dalam Duccarita Sutta,
Ittivuttaka (Masefield, 2001: 53): “These three, monks, are the misconducts.
Which three? Bodily misconduct, verbal misconduct, mental misconduct”. Segala
bentuk perbuatan baik maupun tidak baik pasti akan dilakukan melalui pikiran,
ucapan, dan badan jasmani. Pikiran, ucapan, dan badan jasmani merupakan
saluran atau sarana suatu perbuatan dilakukan.
Menurut Payutto (1993: 11), karma dibedakan menjadi dua macam
berdasarkan bentuk kualitasnya atau akar-akarnya, yaitu akusala kamma dan
kusala kamma. Akusala kamma adalah perbuatan tidak baik atau perbuatan buruk
yang disebabkan oleh tiga akar perbuatan buruk, yaitu keserakahan (lobha),
kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha). Kusala kamma adalah perbuatan
baik yang disebabkan oleh tiga akar perbuatan baik, yaitu tanpa keserakahan
(alobha), tanpa kebencian (adosa), dan tanpa kebodohan batin (amoha).
Seseorang melakukan perbuatan tidak baik (akusala kamma) disebabkan oleh
keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha). Sebaliknya
seseorang yang melakukan perbuatan baik pasti disebabkan oleh tanpa
keserakahan (alobha), tanpa kebencian (adosa), dan tanpa kebodohan batin
(amoha). Tiga akar perbuatan buruk tersebut terdapat dalam Aṅguttara Nikāya I
(Woodward, 2000: 182): “Monks, there are these three roots of demerit. What
three? Greed, malice, and delusion”. Tiga akar perbuatan baik terdapat dalam
Aṅguttara Nikāya I (Woodward, 2000: 183): “There are three roots of merit.
What three? absence of greed, absence of malice, absence of delusion”.
Menurut Buddhadāsa (Tanpa tahun: 24), karma dibedakan ke dalam dua
kategori, yaitu perbuatan yang dapat menambah proses karma dan perbuatan yang
dapat menghentikan proses karma. Perbuatan yang dapat menambah proses karma
adalah perbuatan yang dilakukan karena adanya nafsu keinginan (taṇhā). Dengan
adanya nafsu keinginan, maka seseorang akan melakukan karma dengan terus
menerus. Perbuatan yang dapat menghentikan proses karma adalah perbuatan
yang dilakukan tanpa adanya nafsu keinginan (taṇhā). Perbuatan yang dapat
menghentikan proses karma sama dengan jenis perbuatan yang terdapat dalam
Kukkuravatika Sutta, Majjhima Nikāya II dan Aṅguttara Nikāya II, yaitu karma
bukan hitam maupun bukan putih yang berakibat bukan hitam maupun bukan
putih yang membawa ke pengakhiran karma. Nafsu keinginan (taṇhā)
menyebabkan seseorang melakukan perbuatan dengan terus menerus yang akan
menambah proses karma. Seseorang yang dikuasai nafsu keinginan, maka akan
berusaha dengan keras untuk memenuhi keinginannya tersebut. Misalnya
seseorang memiliki nafsu keinginan untuk menjadi orang yang kaya raya, maka
segala cara akan dilakukannya untuk mewujudkan keinginannya tersebut. Apabila
dengan cara yang baik ia tidak dapat mewujudkan keinginannya, maka akan
mewujudkannya dengan cara-cara yang tidak baik, misalnya melakukan
pesugihan, mencuri, merampok, dan korupsi. Hal tersebut menunjukkan bahwa
nafsu keinginan akan menambah proses karma. Dengan menghentikan nafsu
keinginan (taṇhā), maka seseorang akan dapat menghentikan proses karma.
Buddha menjelaskan tentang empat jenis karma dalam Kukuravatika
Sutta, Majjhima Nikāya II (Horner, 2002: 57):
Punna, these four (kinds of) deeds are made known by me, having realised
them by my own super-knowledge. What four? There is, Punna, the deed
that is dark, dark in result. There is, Punna, the deed that is bright, bright
in result. There is, Punna, the deed that is dark and bright, dark and bright
in result. There is, Punna, the deed that is not dark (and) not bright,
neither dark nor bright in result, the deed that conduces to the destruction
of deeds.
Empat jenis karma juga diajarkan Buddha dalam Aṅguttara Nikāya II (Woodward,
2001: 238-239):
Monks, these four deeds I have myself comprehended, realized and made
known. What four? There is a dark deed with a dark result; a bright deed
with a bright result; a deed that is both dark and bright, with a dark and
bright result; and the deed that is neither dark nor bright, with a result
neither dark nor bright, which being itself a deed conduced to the waning
of deeds.
Karma hitam yang berakibat hitam adalah perbuatan tidak baik yang dilakukan
akan berakibat tidak baik. Contohnya melakukan perbuatan seperti membunuh,
mencuri, merugikan makhluk lain akan berakibat terlahir di alam yang diliputi
penderitaan. Karma putih yang berakibat putih adalah perbuatan baik yang
berakibat baik. Contohnya melakukan perbuatan seperti menolong makhluk
hidup, suka berdana akan terlahir di alam yang diliputi kebahagiaan.
Karma hitam dan putih yang berakibat hitam dan putih adalah perbuatan
baik dan tidak baik yang dilakukan akan berakibat baik dan tidak baik. Perbuatan
baik dan tidak baik tersebut dilakukan bersama-sama dalam satu masa kehidupan
atau campuran perbuatan baik dengan perbuatan tidak baik yang berakibat baik
dan tidak baik. Dalam Kukkuravatika Sutta, Majjhima Nikāya II (Horner, 2002:
58), Buddha mengatakan bahwa:
What, Punna, is the deed that is dark and bright, dark and bright result?
As to this, Punna, someone effects an activity of body that is harmful and
harmless, he effects an activity of speech that is harmful and harmless, he
effects an activity of mind that is harmful and harmless. He, having
effected an activity of body… an activity of speech… an activity of mind
that is harmful and harmless, arises in a world that is harmful and
harmless.
Contohnya, adalah melakukan perbuatan baik seperti menolong makhluk hidup,
suka berdana dan juga melakukan perbuatan tidak baik seperti membunuh,
mencuri. Perbuatan tersebut dilakukan dengan bersama-sama, maka akan
mengakibatkan terlahir di alam yang diliputi kebahagiaan dan juga diliputi
penderitaan.
Karma bukan hitam maupun bukan putih yang berakibat bukan hitam
maupun bukan putih yang membawa pengakhiran karma adalah perbuatan yang
bertujuan untuk penghentian proses karma. Perbuatan tersebut berusaha untuk
menghindari atau meninggalkan karma hitam yang berakibat hitam; karma putih
yang berakibat putih; dan karma hitam dan putih yang berakibat hitam dan putih.
Perbuatan tersebut berusaha untuk menghentikan perbuatan baik maupun
perbuatan tidak baik. Perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan proses karma
adalah jalan mulia berfaktor delapan, yaitu pandangan benar (sammā diṭṭhi),
pikiran benar (sammā saṅkappa), perkataan benar (sammā vaca), perbuatan benar
(sammā kammanta), mata pencaharian benar (sammā ājiva), usaha benar (sammā
vāyāma), perhatian benar (sammā sati), dan meditasi benar (sammā samādhi).
Dalam Saṁyutta Nikāya II (Bodhi, 2000: 1212), Buddha mengatakan bahwa:
“The way leading to the cessation of kamma is Noble Eightfold Path, that is, right
view, intention, speech, action, livelihood, effort, mindfulness, concentration”.
Dalam Visuddhi Magga (Buddhaghosa, Tanpa Tahun: 696-699),
dijelaskan mengenai pembagian karma menurut jangka waktunya, sifat bekerjanya
atau fungsinya, dan sifat hasilnya atau kekuatannya. Menurut jangka waktunya
(pākakāla catukka), karma dibedakan menjadi empat, yaitu
diṭṭhadhammavedaniya kamma, uppajjavedaniya kamma, aparāparavedaniya
kamma, dan ahosi kamma. Diṭṭhadhammavedaniya kamma, uppajjavedaniya
kamma, dan aparāparavedaniya kamma terdapat dalam Aṅguttara Nikāya III
(Hare, 2001: 294): “What is action’s fruit? I say that it is threefold: it may either
rise here now or at another time or on the way”.
Diṭṭhadhammavedaniya kamma adalah perbuatan atau karma yang
memberikan hasil atau akibat dalam kehidupan sekarang ini. Uppajjavedaniya
kamma adalah perbuatan atau karma yang memberikan hasil atau akibat setelah
kehidupan sekarang ini. Aparāparavedaniya kamma adalah perbuatan atau karma
yang memberikan hasil atau akibat dalam kehidupan ke tiga dan seterusnya.
Seseorang yang melakukan perbuatan baik, misalnya suka berdana, menghasilkan
akibat yang baik yaitu memiliki kekayaan pada waktu kehidupan sekarang ini
disebut sebagai diṭṭhadhammavedaniya kamma. Bila perbuatan tersebut
menghasilkan akibat setelah kehidupan sekarang ini, maka perbuatan tersebut
disebut sebagai uppajjavedaniya kamma. Apabila perbuatan tersebut
menghasilkan akibat pada kehidupan ketiga, keempat, dan seterusnya disebut
sebagai aparāparavedaniya kamma. Ahosi kamma adalah perbuatan atau karma
yang tidak menimbulkan akibat. Menurut Kaharuddin (2004: 292), ahosi kamma
dapat terjadi karena tiga hal yaitu, jangka waktu untuk memberikan hasilnya telah
habis, karma yang menghasilkan akibatnya telah habis, atau karma tersebut telah
menghasilkan akibatnya secara penuh. Contohnya adalah perbuatan dari
Aṅgulimāla. Dalam Aṅgulimāla Sutta, Majjhima Nikāya II (Horner, 2002: 284-
292), diceritakan bahwa sebelum menjadi arahat, Aṅgulimāla melakukan
perbuatan yang tidak baik, yaitu membunuh banyak orang. Beliau ditahbiskan
menjadi bhikkhu oleh Buddha dan melaksanakan vipassanā bhāvanā (meditasi
yang bertujuan untuk mencapai pandangan terang) dengan tekun dan akhirnya
menjadi arahat. Perbuatan tidak baik yang dilakukan Aṅgulimāla, yaitu
membunuh banyak orang menjadi ahosi kamma karena beliau mencapai arahat.
Menurut sifat bekerjanya atau fungsinya (kicca catukka), karma dibedakan
menjadi empat macam, yaitu janaka kamma, upatthambhaka kamma, upapiḷaka
kamma, dan upaghātaka kamma. Janaka kamma (karma penghasil) adalah karma
yang menyebabkan terlahirnya kembali suatu makhluk. Seseorang terlahir sebagai
seorang yang kaya-miskin, cantik-jelek, sehat-sakit ditentukan oleh janaka
kamma. Sebagai contoh, seorang ibu yang melahirkan anak yang cacat. Hal
tersebut terjadi karena sebelum lahir, ibu tersebut berusaha membunuh janin yang
ada dikandungannya dengan cara meminum jamu atau obat yang berguna untuk
membunuh janin, tetapi tidak berhasil. Ibu tersebut melahirkan anak dalam
kondisi yang cacat akibat jamu atau obat tersebut. Sesungguhnya anak tersebut
terlahir karena janaka kamma sesuai dengan kondisi karma yang
mengakibatkannya terlahir cacat. Ibu tersebut hanya sebagai kondisi dari
kecacatan anak tersebut. Upatthambhaka kamma (karma penguat) adalah karma
yang membantu mendorong terpeliharanya suatu akibat dari sebab yang telah
timbul. Misalnya seseorang memiliki janaka kamma yang baik sehingga terlahir
dalam keluarga yang kaya, maka upatthambhaka kamma akan membantu
memperkuat kondisi kelahirannya dalam keluarga yang kaya. Upatthambhaka
kamma akan membantu memperkuat kondisi kelahirannya dalam keluarga yang
kaya dengan cara mendorong orang tersebut melakukan perbuatan baik, yaitu
sering menolong orang dan suka berdana. Perbuatan orang tersebut yang sering
berdana dan menolong orang maka akan mengakibatkan bertambahnya kekayaan
yang dimiliki. Upapiḷaka kamma (karma pelemah) adalah karma yang
memperlemah kekuatan dari janaka kamma. Misalnya janaka kamma menjadikan
seseorang terlahir dalam keluarga yang kaya, maka upapiḷaka kamma akan
mengurangi kondisi kelahirannya dalam keluarga yang kaya. Upapiḷaka kamma
akan mendorong seseorang melakukan perbuatan yang dapat mengurangi
kekayaan yang dimilikinya misalnya tidak suka berdana, menghambur-hamburkan
uang, dan suka berpesta yang megah. Dengan cara seperti itu, kekayaan orang
tersebut lama-kelamaan akan berkurang. Upaghātaka kamma (karma penghancur)
adalah karma yang memiliki fungsi menentang atau menghancurkan kekuatan dari
janaka kamma. Upaghātaka kamma melenyapkan atau menghancurkan karma
yang telah ada secara tiba-tiba, mengakhiri kekuatan karma yang telah ada, dan
menimbulkan kondisi karma yang baru. Misalnya seseorang yang terlahir karena
janaka kamma sebagai anak dari keluarga yang miskin, maka upaghātaka kamma
dapat mengubah kondisi karma dari anak tersebut. Upaghātaka kamma akan
mendorong karma baik lampau yang dilakukan anak tersebut untuk berbuah,
sehingga mengakibatkan anak tersebut diangkat menjadi anak oleh orang kaya.
Menurut sifat hasilnya atau kekuatannya (pākadānapariyāna), karma
dibedakan menjadi empat macam, yaitu garuka kamma, āsanna kamma, ācinna
kamma atau bahula kamma, dan katattā kamma. Garuka kamma adalah karma
yang mempunyai akibat sangat berat. Dalam Kamus Umum Buddha Dharma
(Kaharuddin, 2004: 293-294), garuka kamma dibagi menjadi dua jenis, yaitu
akusala garuka kamma dan kusala garuka kamma. Akusala garuka kamma adalah
perbuatan jahat yang mempunyai akibat yang berat, yaitu membunuh orang tua,
membunuh arahat, melukai seorang Buddha, dan menyebabkan perpecahan
dalam Saṅgha. Perbuatan tersebut, bila dilakukan oleh seseorang akan
mengakibatkan terlahir di alam neraka. Perbuatan tersebut dijelaskan oleh Buddha
dalam Aṅguttara Nikāya III (Hare, 2001: 112):
Monks, five are the lost in hell who lie festering, incurable. What five? (By
him) has his mother been deprived of life; his father; an arahant; (by him),
with evil thought, has the Tathāgata’s blood been drawn; (by him) has the
Order been embroiled.
Contohnya adalah perbuatan dari Devadatta yang melukai Buddha dan
menyebabkan perpecahan dalam Saṅgha, maka ia terlahir di alam neraka avici
(Dhammapada Atthakatha, 1997: 25). Kusala garuka kamma adalah perbuatan
baik yang mempunyai akibat sangat baik, yaitu melaksanakan meditasi samatha
bhāvanā (meditasi yang bertujuan untuk mencapai ketenangan batin) dan
mencapai jhāna (pikiran yang terkonsentrasi pada objek dengan kuat). Āsanna
kamma adalah perbuatan atau karma (baik dan tidak baik) yang dilakukan
seseorang menjelang kematian disebut juga sebagai āsanna marana kamma.
Contohnya seseorang yang akan meninggal teringat kembali kebaikan yang telah
dilakukan misalnya pernah membangun vihāra, maka āsanna kamma akan
mendorong orang tersebut terlahir di alam yang diliputi kebahagiaan. Ācinna
kamma atau bahula kamma adalah perbuatan (karma) yang sering dilakukan oleh
seseorang dan menjadi kebiasaan. Katattā kamma adalah perbuatan (karma) yang
akibatnya tidak terlalu berat dirasakan oleh seseorang. Menurut
Vajirananavarorasa (Tanpa tahun: 227), katattā kamma adalah perbuatan yang
dilakukan tanpa adanya suatu kehendak tertentu atau hampir tidak terdapat suatu
usaha. Contohnya seorang ibu yang menghukum anaknya dengan mengurungnya
di kamar, tetapi dengan tidak sengaja mengakibatkan anak tersebut menjadi sakit.
Perbuatan seorang ibu itu disebut sebagai katattā kamma.
Menurut Anuruddhacariya dalam Kaharuddin (2004: 144), selain menurut
jangka waktunya, sifat bekerjanya atau fungsinya, dan sifat hasilnya atau
kekuatannya, karma juga dibedakan menurut kedudukannya (pakatthana catukka).
Menurut kedudukannya (pakatthana catukka), karma dibedakan menjadi empat
macam, yaitu akusala kamma, kāmāvacarakusala kamma, rūpāvacarakusala
kamma, dan arūpāvacara kusala kamma. Empat macam karma tersebut disebut
sebagai saṅkhāra atau cetanā (bentuk-bentuk karma) yang terdapat dalam
paṭiccasamuppāda.
Dalam Abhidhammatthasaṅgaha (Kaharuddin, 2005: 283), Akusala
kamma adalah perbuatan tidak baik, yaitu cetanā (kehendak) yang berada dalam
akusala citta 12 (pikiran yang tidak baik yang berjumlah 12, yaitu lobha citta 8,
dosa citta 2, dan moha citta 2). Akusala kamma terbagi menjadi tiga macam, yaitu
akusala kāya kamma, akusala vaci kamma, dan akusala mano kamma. Akusala
kāya kamma adalah perbuatan tidak baik yang dilakukan melalui badan jasmani,
yaitu membunuh, mencuri, dan berbuat asusila. Akusala vaci kamma adalah
perbuatan tidak baik yang dilakukan melalui ucapan atau perkataan, yaitu
berbohong, menfitnah, berbicara kasar, dan mengucapkan hal yang tidak penting
(omong kosong). Akusala mano kamma adalah perbuatan tidak baik yang
dilakukan melalui pikiran, yaitu nafsu keinginan, kemauan jahat, dan pandangan
salah. Akusala kamma terbagi menjadi tiga macam, yaitu akusala kāya kamma,
akusala vaci kamma, dan akusala mano kamma disebut sebagai dāsa akusala
kammapatha (sepuluh macam perbuatan tidak baik atau jahat). Sepuluh macam
perbuatan baik ini terdapat dalam Pāyāsi Sutta, Dīgha Nikāya II (Davids, 2002:
351): “Who have taken life, committed thefts, or fornication, have uttered lying,
slanderous, abusive, gossiping speech, have been covetous, of malign thoughts, of
evil opinion”., Mahākammavibhaṅga Sutta, Majjhima Nikāya III (Horner, 1999:
257): “Who makes onslaught on creatures, takes what has not been given,
wrongly enjoys pleasures of the senses, is a liar, of slanderous speech, of harsh
speech, a gossip, covetous, malevolent in mind, and of false view”., dan Aṅguttara
Nikāya V (Woodward, 2003: 184): “Taking life, taking what is not given, wrong
conduct in sexual desires, falsehood, slander, bitter speech, idle babble, coveting,
harmfulness and wrong view”.
Kāmāvacarakusala kamma adalah perbuatan baik yang disertai
kesenangan, yaitu cetanā (kehendak) yang berada dalam mahākusala citta 8
(pikiran yang sangat baik yang berjumlah delapan). Kāmāvacarakusala kamma
terbagi menjadi tiga macam, yaitu kusala kāya kamma, kusala vaci kamma, dan
kusala mano kamma. Kusala kāya kamma adalah perbuatan baik yang dilakukan
melalui badan jasmani, yaitu menahan diri dari pembunuhan, pencurian, dan
berbuat asusila. Kusala vaci kamma adalah perbuatan baik yang dilakukan melalui
ucapan atau perkataan, yaitu menahan diri dari berbohong, menfitnah, berbicara
kasar, dan mengucapkan hal yang tidak penting (omong kosong). Kusala mano
kamma adalah perbuatan baik yang dilakukan melalui pikiran, yaitu menahan diri
dari nafsu keinginan, tidak memiliki keinginan jahat, dan berpandangan benar.
Kusala kāya kamma, kusala vaci kamma, dan kusala mano kamma disebut
sebagai dāsa kusala kammapatha (sepuluh macam perbuatan baik). Sepuluh
macam perbuatan baik ini terdapat dalam Pāyāsi Sutta, Dīgha Nikāya II (Davids,
2002: 353): ”Who have abstained from taking a life, from committing thefts, or
fornication, from lying, slandering, rude, or frivolous speech, who have not
coveted, or had malign thoughts or evil opinions”., Mahākammavibhaṅga sutta,
Majjhima Nikāya III (Horner, 1999: 257):
Refrains from onslaught on creatures, refrains from taking what has not
been given, refrains from wrong enjoyment of the sense-pleasures, refrains
from lying, refrains from slanderous speech, refrains from harsh speech,
refrains from gossip, is not covetous, not malevolent in mind, and is of a
right view.,
dan Aṅguttara Nikāya V (Woodward, 2003: 184):
Abstaining from taking life, abstaining from taking what is not given,
abstaining from wrong conduct in sexual desires, abstaining from
falsehood, abstaining from slander, abstaining from bitter speech,
abstaining from idle babble, abstaining from coveting, abstaining from
harmfulness, and right view.
Rūpāvacarakusala kamma adalah perbuatan baik yang mencapai rūpa
jhāna, yaitu cetanā (kehendak) yang berada dalam rūpāvacarakusala citta 5
(pikiran baik yang berada dalam jhāna tingkat satu, dua, tiga, empat, dan lima).
Perbuatan tersebut adalah melaksanakan meditasi samatha bhāvanā dengan objek
rūpa (bentuk) dan mencapai tingkatan rūpa jhāna. Perbuatan ini dilakukan pada
saat seseorang melakukan samatha bhāvāna (meditasi yang bertujuan untuk
mencapai ketenangan batin. Sebagai contoh misalnya seseorang mengambil objek
air (āpo kasina). Sebelum seseorang dapat memusatkan pikirannya pada objek air
dengan kuat, maka akan melalui tahapan-tahapan (faktor jhāna), yaitu usaha
pikiran untuk memegang objek air (vitakka), pikiran telah memegang objek air
(vicāra), kegiuran atau kenikmatan (piti), kebahagiaan (sukha), dan pikiran
terpusat dengan kuat (ekaggatā). Tahapan-tahapan ini yang disebut sebagai
tingkatan jhāna. Seseorang yang melewati lima tahapan ini disebut sebagai jhāna
tingkat pertama (pathama jhāna). Seseorang yang langsung mulai pada tahapan
kedua, yaitu vicāra dikatakan telah mencapai jhāna tingkat dua (dutiya jhāna).
Seseorang yang langsung mulai pada tahapan ketiga, yaitu piti dikatakan telah
mencapai jhāna tingkat tiga (tatiya jhāna). Seseorang yang langsung mulai pada
tahapan keempat, yaitu sukha dikatakan telah mencapai jhāna tingkat empat
(catuttha jhāna). Seseorang yang langsung pada tahapan yang kelima, yaitu
ekaggatā dan memiliki keseimbangan batin (upekkhā) dikatakan telah mencapai
jhāna tingkat kelima (paṇcama jhāna).
Arūpāvacara kusala kamma adalah perbuatan baik yang mencapai arūpa
jhāna, yaitu cetanā (kehendak) yang berada dalam arūpāvacarakusala citta 4
(pikiran baik yang berada dalam tingkatan arūpa jhāna). Perbuatan tersebut
adalah melaksanakan meditasi samatha bhāvanā dengan objek arūpa (tanpa
bentuk) dan mencapai tingkatan arūpa jhāna. Perbuatan tersebut dilakukan pada
saat seseorang melakukan meditasi samatha bhāvanā dengan objek arūpa.
Tingkatan arūpa jhāna, yaitu akasanancayatana (jhāna tingkat pertama) dengan
mengambil objek ”ruangan tanpa batas”, viññānancayatana (jhāna tingkat kedua)
dengan mengambil objek ”kesadaran tanpa batas”, akincannayatana (jhāna
tingkat ketiga) dengan mengambil objek ”kekosongan”, dan
nevasaññanasaññayatana (jhāna tingkat empat) dengan mengambil objek
”pencerapan pun bukan tidak pencerapan”. Arūpa jhāna merupakan kelanjutan
dari rūpa jhāna, yaitu jhāna tingkat kelima (paṇcama jhāna). Seseorang yang
akan memasuki jhāna tingkat pertama dari arūpa jhāna, harus keluar jhāna
tingkat kelima (rūpa jhāna) dan merenungkan bahwa tidak ada batas dari sebuah
ruang. Dengan merenungkan bahwa ruang adalah tidak terbatas, maka ia
mencapai keadaan ruang tanpa batas (akasanancayatana). Seseorang yang ingin
memasuki jhāna tingkat kedua dari arūpa jhāna harus keluar dari jhāna tingkat
pertama dan merenungkan bahwa kesadaran adalah tidak terbatas. Dengan bahwa
kesadaran adalah tidak terbatas, maka ia mencapai keadaan kesadaran tanpa batas
(viñānancayatana). Seseorang yang ingin memasuki jhāna tingkat ketiga dari
arūpa jhāna harus keluar dari jhāna tingkat kedua dan merenungkan
“kekosongan” dari kesadaran tidak terbatas. Dengan melakukan hal itu, maka ia
mencapai jhāna tingkat ketiga (akincannayatana). Seseorang yang ingin
memasuki jhāna tingkat keempat dari arūpa jhāna harus keluar dari jhāna tingkat
ketiga dan merenungkan bahwa kekosongan adalah sebagai kedamaian, sehingga
pikirannya diarahkan dalam keadaan “bukan pencerapan maupun bukan tidak
pencerapan”. Dengan melakukan hal itu, maka ia akan mencapai jhāna tingkat
keempat (nevasaññanasaññayatana).
B. Posisi Ajaran Karma Buddhis yang Mempengaruhi Pola Pikir
Masyarakat Buddhis
1. Sebagai Landasan Umat Buddha untuk Bermoral dan Beretika
Moral dan etika mempunyai pengertian yang sama dengan sīla dalam
agama Buddha. Kata ”etika” berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos dan ethikos.
Kata ethos memiliki arti kebiasaan atau adat, kesusilaan, perasaan batin. Etika
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 309) adalah ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk dan ilmu tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
Kata ”moral” berasal dari bahasa Latin mos atau mores yang memiliki arti
yang sama dengan etika. Dalam bahasa Latin, etika sering dijelaskan dengan kata
moral. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 754-755), pengertian moral
hampir sama dengan etika, yaitu:
a. Ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan,
sikap, kewajiban: sinonim dengan akhlak, budi pekerti, susila;
b. Kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat,
bergairah, berdisiplin; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana
terungkap dalam perbuatan;
c. Ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita.
Dapat disimpulkan bahwa etika mempunyai arti yang lebih mendalam daripada
moral. Moral hanya berarti perilaku secara lahiriah saja, sedangkan etika bukan
hanya perbuatan secara lahiriah saja tetapi juga kaidah dan motif perbuatan yang
lebih mendalam.
Menurut Rashid (1997: 3), istilah sīla dalam kosakata Pāli mempunyai
beberapa arti, yaitu:
a. Sīla adalah sifat, karakter, watak, kebiasaan, perilaku, atau kelakuan.
Contohnya adanasīla (perilaku kikir); parisudhasīla (watak luhur); dan susīla
(perilaku baik).
b. Sīla adalah latihan moral, pelaksanaan moral, perilaku baik, etika Buddhis,
dan kode moralitas. Contohnya pancasīla (lima perilaku baik) dan dāsasīla
(sepuluh perilaku baik) yang berguna sebagai latihan moral bagi umat Buddha.
Pengertian sīla yang pertama memiliki arti yang lebih luas dan memiliki
arti yang sama dengan etika. Pengertian sīla yang kedua memiliki arti yang lebih
sempit dan memiliki arti yang sama dengan moral. Pengertian sīla tersebut
menunjukkan bahwa etika dan moral dalam agama Buddha disebut sebagai sīla.
Ajaran karma Buddhis dapat digunakan sebagai landasan umat Buddha
dalam bermoral dan beretika berarti digunakan sebagai landasan dalam berbuat
sesuai dengan sīla. Ajaran karma mempunyai nilai-nilai moral dan etika yang
dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran agama Buddha tentang
karma berhubungan erat dengan moral. Menurut Wowor (2004: 5), ajaran karma
Buddhis memiliki dua aspek, yaitu aspek hukum dan aspek moral. Aspek hukum
dalam ajaran karma adalah sebagai hukum sebab akibat. Ajaran karma mencakup
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang akan menimbulkan hasil atau
akibat. Aspek moral dalam ajaran karma Buddhis adalah sebagai ajaran moral
yang menitikberatkan pada perbuatan baik (kusala kamma) dan perbuatan tidak
baik (akusala kamma). Perbuatan baik (kusala kamma) yang dilakukan oleh
seseorang merupakan bentuk dari moral dan etika yang baik. Sebaliknya
perbuatan tidak baik (akusala kamma) yang dilakukan oleh seseorang merupakan
bentuk dari moral dan etika yang tidak baik. Karma dalam aspek moral mencakup
nilai-nilai etika tentang baik dan tidak baik atau buruk. Dalam hal ini, aspek moral
yang dimaksud adalah aspek moral secara Buddhis dan bukan aspek moral dalam
pandangan umum. Apa yang dikatakan oleh pandangan umum baik, belum tentu
dalam pandangan Buddhis dikatakan baik. Wahyono (2002: 145) mencontohkan
bahwa menurut pandangan umum, bila seseorang membunuh binatang yang
merusak kebun, hal tersebut adalah benar atau baik. Menurut pandangan Buddhis,
pembunuhan merupakan hal yang tidak baik karena melanggar sīla. Hal tersebut
bertentangan dengan ajaran Buddha yang menganjurkan untuk mengembangkan
cinta kasih (mettā) dan kasih sayang (karuṇā) terhadap semua mahluk.
Ajaran karma mengajarkan umat Buddha untuk berbuat baik dan
menghindari perbuatan buruk atau tidak baik. Buddha menunjukkan jalan bagi
umatnya untuk mendapatkan kebahagiaan dengan melakukan perbuatan baik.
Seseorang mendapatkan kebahagiaan maupun penderitaan karena perbuatan yang
telah dilakukannya bukan karena pemberian dari Tuhan atau para dewa.
Seseorang menjadi mulia (suci) ataupun jelek (hina) karena perbuatan yang telah
dilakukannya. Dalam Dhammapada (Norman, 2004: 25), Buddha menjelaskan:
”By the self alone is evil done; by the self is one defiled. By the self evil not done;
by the self alone is one purified. Purity and impurity concern the individual. One
man may not purify another”.
Dalam melaksanakan sīla, seseorang memerlukan hiri dan ottappa.
Seseorang yang memiliki rasa malu untuk berbuat jahat (hiri) dan rasa takut akan
akibat perbuatan jahat (ottappa), maka akan berbuat sesuai dengan sīla (moral dan
etika). Keduanya disebut juga sebagai Dhamma pelindung dunia (lokāpala). Hiri
dan ottappa dijelaskan oleh Buddha dalam Sukkadhamma Sutta, Ittivuttaka
(Masefield, 2001: 33): “These two bright states, monks, protect the world. Which
two? A sense of shame and of a fear of reproach”. Hiri dan ottappa terdapat juga
dalam Aṅguttara Nikāya I (Woodward, 2000: 46): “Monks, these two bright states
protect the world. What two? Sense of shame and fear of blame”.
Ajaran karma menunjukkan ajaran yang berkenaan dengan moral.
Seseorang yang memahami ajaran karma akan mendorongnya untuk menahan diri
dari perbuatan tidak baik dan mengembangkan perbuatan baik serta berbuat sesuai
dengan moral dan etika (atau sesuai dengan sīla). Penjelasan di atas menunjukkan
bahwa ajaran karma dapat digunakan sebagai landasan umat Buddha dalam
bermoral dan beretika.
2. Sebagai Salah Satu Representasi Berlakunya Paṭiccasamuppāda
Paṭiccasamuppāda merupakan hukum sebab musabab yang saling
bergantungan. Paṭiccasamuppāda sering diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
dengan berbagai kata, antara lain: dependent origination, dependent arising,
conditioned co-production, causal conditioning, causal genesis, conditioned
genesis, dan causal dependencies. Segala sesuatu yang ada di dunia ini memiliki
sifat dan kondisi yang saling bergantungan. Buddha menjelaskan tentang rumusan
sebab akibat yang dikenal sebagai rumusan hukum paṭiccasamuppāda. Dalam
Dutiyabodhi Sutta, Udāna (Masefield, 1997: 3), Buddha mengatakan: “Hence,
that being, this come to be; through the arising of that, this arises. That not being,
this comes not to be; through the cessation of that, this ceases”. Dalam bahasa
Pāli disebutkan: “Imasmiṁ sati idaṁ hoti; imasupādā idaṁ uppajjati. Imasmiṁ
asati idaṁ na hoti; imassa nirodhā idaṁ nirujjhati”. Hal tersebut menunjukkan
suatu ketergantungan antara sebab dan akibat. Suatu sebab akan menimbulkan
akibat, demikian pula bila tidak ada sebab maka akibat tidak akan muncul. Antara
sebab dan akibat mempunyai hubungan yang saling bergantungan.
Buddha menjelaskan kepada para bhikkhu tentang paṭiccasamuppāda
(hukum sebab akibat) yang menyebabkan seseorang terperangkap dalam lingkaran
tumimbal lahir. Buddha menjelaskan kepada para bhikkhu tentang dua belas faktor
(nidāna) dari sebab akibat yang menyebabkan lingkaran kehidupan dalam
Saṁyutta Nikāya I (2000: 533):
With ignorance as condition, volitional formations (come to be); with
volitional formations as condition, consciousness; with consciousness as
condition, name-and-form; with name-and-form as condition, the six sense
bases; with the six sense bases as condition, contact; with contact as
condition, feeling; with feeling as condition, craving; with craving as
condition, clinging; with clinging as condition, existence; with existence
as condition, birth; with birth as condition, aging-and-death, sorrow,
lamentation, pain, dipleasure, and despair come to be. Such is the origin
of this whole mass of suffering. This, bhikkhus, is called dependent
origination.
Hal tersebut juga terdapat dalam Pathamabodhisutta, Udāna (Masefield,
1997: 1):
That is to say, through the condition that is ignorance, (there are
generated) the formations; through the condition that is the formations,
consciousness; through the condition that is consciousness, name-andform;
through the condition that is name-and-form, the six bases; through
the condition that is the six bases, contact; through the condition that is
contact, sensation; through the condition that is sensation, craving;
through the condition that is craving, grasping; through the condition that
is grasping, becoming; through the condition that is becoming, birth;
through the condition that is birth, old age and dying, grief, lamentation,
dukkha, dejection and despair are generated. So is there the origination of
this mass that is sheer dukkha.
Kedua belas faktor tersebut mempunyai hubungan yang saling bergantungan dan
sebagai suatu proses sebab akibat. Dua belas nidāna tersebut sebagai suatu
lingkaran kehidupan yang tidak dapat diketahui awal dan akhirnya. Avijjā
(kebodohan batin) merupakan sebab langsung yang menimbulkan saṅkhāra
(bentuk-bentuk karma), dan bukan sebagai sebab pertama (causa prima) atau
sebagai awalnya. Selama seseorang belum dapat menghentikan proses sebab
akibat tersebut maka akan mengalami kelahiran kembali yang tanpa ada hentinya.
Proses dari dua belas nidāna dalam paṭiccasamuppāda adalah sebagai berikut:
”Dengan adanya avijjā (ketidak-tahuan), maka timbullah saṅkhāra (bentukbentuk
karma); dengan adanya saṅkhāra (bentuk-bentuk karma), maka timbullah
viññāna (kesadaran); dengan adanya viññāna (kesadaran), maka timbullah nāmarūpa
(batin dan jasmani); dengan adanya nāma-rūpa (batin dan jasmani), maka
timbullah saḷāyatana (enam landasan indera); dengan adanya saḷāyatana (enam
landasan indera), maka timbullah phassa (kontak); dengan adanya phassa
(kontak), maka timbullah vedanā (perasaan); dengan adanya vedanā (perasaan),
maka timbullah taṇhā (keinginan); dengan adanya taṇhā (keinginan), maka
timbullah upādāna (kemelekatan); dengan adanya upādāna (kemelekatan), maka
timbullah bhava (perwujudan); dengan adanya bhava (perwujudan), maka
timbullah jāti (kelahiran); dengan adanya jāti (kelahiran), maka timbullah jarāmarana
(ketuaan dan kematian)”.
Suatu makhluk terjerat dalam lingkaran tumimbal lahir karena rangkaian
sebab akibat. Suatu makhluk akan mengalami tumimbal lahir yang terus menerus
karena tidak memahami paṭiccasamuppāda. Buddha berkata kepada Ananda
dalam Mahānidāna Sutta, Dīgha Nikāya II (Davids, 2002: 50-51) bahwa:
Say not so, Ananda, say not so! Deep is this doctrine of events as arising
from causes, and it looks deep too. It is through not understanding this
doctrine, through not penetrating it, that this generation has become a
tangled skein, a matted ball of thread, like to munja-grass and rushes,
unable to overpass the doom of the Waste, the Woeful Way, the Downfall,
the Constant Round (of transmigration).
Segala sesuatu yang ada di dunia ini mengalami proses sebab akibat yang
tidak ada hentinya. Bukan hanya kehidupan saja yang mengalami proses sebab
akibat, tetapi juga segala sesuatu yang ada di dunia ini. Alam semesta bergerak
menurut proses pembentukan (vivattamāna) dan penghancuran (samvattamāna)
yang berlangsung terus menerus. Planet bumi yang ditinggali oleh manusia ini
akan mengalami proses penghancuran, tetapi kemudian akan mengalami proses
pembentukan kembali. Dalam Aggañña Sutta, Dīgha Nikāya III (Davids, 2002:
81-83), dijelaskan tentang proses kehancuran dan pembentukan kembali dari bumi
yang berlangsung sangat lama. Ketika bumi ini hancur, makhluk-makhluknya
akan terlahir di alam ābhassara. Setelah bumi terbentuk kembali, makhlukmakhluk
alam ābhassara yang mati terlahir kembali di bumi.
“There comes a time, Vāseṭṭha, when, sooner or later, after the lapse of a
long, long period, this world passes away. And when this happen, beings
have mostly been reborn in the World of Radiance (ābhassara),…”.
“…There upon night and day became manifest, months too and halfmonths,
the seasons and the years. Thus far then, Vāseṭṭha, did the world
evolve again”.
Agama Buddha menyatakan bahwa segala sesuatu terjadi bukan hanya
karma satu sebab (ekahetuka), ataupun tidak memiliki penyebab (ahetuka). Suatu
akibat ditimbulkan oleh beberapa sebab, demikian pula dengan sebab akan
menimbulkan beberapa akibat. Sebab dan akibat tersebut saling bergantungan.
Tidak ada sesuatu yang timbul tanpa adanya sebab, dan tidak ada sesuatu sebab
yang timbul tanpa menimbulkan akibat. Sebagai contoh kelahiran suatu makhluk
bukan hanya disebabkan oleh satu sebab saja tetapi oleh beberapa sebab yang
saling mendukung, yaitu sanggama antara orang tua, ibu dalam masa subur, dan
hadirnya gandhabba (calon makhluk). Suatu sebab akan menimbulkan beberapa
akibat, misalnya seseorang yang mencuri barang milik orang lain, maka akibatnya
bila tertangkap akan dipukuli orang-orang, mendapatkan hinaan dari orang lain,
dan akhirnya masuk penjara.
Proses sebab akibat tidak ada hentinya dan berlangsung terus menerus.
Misalnya suatu sebab akan menimbulkan akibat, akibat tersebut akan menjadi
sebab untuk menimbulkan akibat yang baru. Contohnya, sebagai sebab adalah
seseorang tidak memiliki uang maka sebagai akibatnya ia akan mencuri uang
milik orang lain. Pencurian tersebut akan menjadi sebab untuk menimbulkan
akibat yang baru misalnya orang tersebut bila tertangkap akan masuk dalam
penjara. Hal tersebut menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini
merupakan rangkaian sebab akibat termasuk kehidupan suatu mahluk.
Samuel dalam Piyadassi (1991: 139), mengatakan bahwa:
There is no such thing as chance. Every event is the consequence of
previous events; everything that happens is the effect of a combination of
multitude of prior causes; and like causes always produce like effects. The
laws of causality and of the uniformity of nature prevail everywhere and
always.
Setiap kejadian merupakan akibat dari kejadian sebelumnya dan akibat dari
bermacam-macam sebab yang sebelumnya. Segala sesuatu merupakan suatu
rangkaian sebab akibat yang saling bergantungan. Paṭiccasamuppāda berlaku
dimana saja dan selamanya.
Ajaran karma merupakan salah satu bentuk dari hukum sebab akibat
(paṭiccasamuppāda). Paṭiccasamuppāda merupakan hukum sebab akibat yang
mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini saling tergantung satu
sama lain. Ajaran karma juga sebagai hukum sebab akibat tetapi khusus pada
sebab akibat dari suatu perbuatan. Dalam Mahākammavibhaṅga Sutta, Majjhima
Nikāya III (Horner, 1999: 255) dikatakan bahwa: “When one has intentionally
done a deed by body, speech or thought…,one experience anguish”. Seseorang
yang melakukan suatu perbuatan yang dilakukan melalui badan jasmani,
perkataan, dan pikiran maka akan menimbulkan akibat, yaitu penderitaan. Hal
tersebut menunjukkan hubungan sebab akibat dari perbuatan (kamma) dan akibat
karma (kamma vipāka). Dapat disimpulkan bahwa ajaran karma merupakan salah
satu bentuk hukum sebab akibat dari paṭiccasamuppāda atau representasi dari
berlakunya paṭiccasamuppāda.
3. Sebagai Filsafat Jalan Tengah
Teori tentang karma sudah ada dan berkembang sebelum adanya Buddha
Gotama. Teori karma diajarkan oleh para pemimpin kepercayaan yang
berkembang pada zaman sebelumnya. Teori tentang karma yang diajarkan oleh
Buddha berbeda dengan kepercayaan lain. Kalupahana (1975: 46) menjelaskan
bahwa teori karma yang diajarkan oleh kepercayaan lain seperti kaum Upanishad,
Ājīvika, dan Jaina lebih mengarah ke sifat eternalis (kekekalan) dan nihilis
(kekosongan). Teori karma yang bersifat eternalis mengungkapkan bahwa adanya
“diri” yang kekal yang melakukan tindakan sekaligus yang menerima. Teori
karma yang bersifat nihilis menjelaskan bahwa suatu perbuatan yang dilakukan
tidak akan menimbulkan akibat apapun. Kalupahana menjelaskan tiga teori
tentang karma sebelum adanya Buddha, yaitu:
a. Menurut kaum Upanishad
Teori tentang karma atau tanggung jawab moral dijelaskan bahwa “diri”
(ātman) adalah pelaku dari karma (perbuatan) dan sekaligus penerima dari semua
akibat. Karma adalah kegiatan dan pengalaman dari “diri” yang abadi dari
seseorang. Kebahagiaan dan penderitaan disebabkan oleh karma yang dilakukan
dari dalam “diri” seseorang.
b. Menurut kaum Materialis dan Ājīvika
Menolak segala bentuk karma dan tanggung jawab moral serta kelahiran
kembali. Kebahagiaan dan penderitaan yang dialami seseorang disebabkan oleh
hukum alam yang disebut sebagai sifat bawaan (svabhāva). Segala sesuatu
ditentukan oleh sebab dari luar selain dari “diri” seseorang.
c. Menurut kaum Jaina
Karma merupakan suatu bentuk tanggung jawab seseorang. Suatu karma
yang dilakukan seseorang akan menjadi kekuatan yang tidak dapat diubah dan di
luar kendali. Teori karma yang diajarkan oleh kaum Jaina lebih menekankan sifat
deterministik.
Teori karma yang diajarkan oleh kaum Upanishad mengarah pada sifat
eternalis (kekekalan) karena mengatakan bahwa “diri” adalah kekal yang
melakukan perbuatan sekaligus yang menerima hasil perbuatan. Teori karma
menurut kaum Materialis dan Ājīvika mengarah pada sifat nihilis karena menolak
segala bentuk karma dan tanggung jawab moral serta menolak pernyataan bahwa
“diri” ini kekal. Teori karma menurut kaum Jaina berusaha menggabungkan
antara teori dari kaum Upanishad, Materialis, dan Ājīvika yang bersifat eternalis
dan nihilis.
Buddha mengajarkan tentang kausalitas (sebab akibat) dari perilaku
manusia. Sebab dan akibat saling berhubungan atau berkorelasi. Korelasi antara
tindakan (kamma) dan akibat (vipāka) disebut sebagai teori karma dalam
pandangan Buddhis. Teori karma menurut pandangan Buddhis yang berisi tentang
ajaran sebab akibat dari perbuatan memperjelas bahwa ajaran Buddha tentang
karma menghindari eternalis dan nihilis. Ajaran karma Buddhis sebagai filsafat
jalan tengah karena menghindari pandangan eternalis dan nihilis.
Ajaran karma yang memuat ajaran sebab akibat yang berkaitan dengan
perbuatan suatu makhluk berhubungan dengan moral dan etika (sīla),
paṭiccasamuppāda, dan filsafat jalan tengah. Ajaran karma berfungsi sebagai
landasan bagi umat Buddha dalam berbuat sesuai dengan moral dan etika (sīla)
secara Buddhis. Ajaran karma juga sebagai salah satu representasi berlakunya
paṭiccasamuppāda. Ajaran karma sebagai ajaran sebab akibat dari perbuatan
adalah salah satu bentuk hukum sebab akibat dari paṭiccasamuppāda. Ajaran
karma merupakan salah satu dari filsafat jalan tengah yang menghindari dua
pandangan salah, yaitu eternalis (kekekalan) dan nihilis (kekosongan). Dapat
disimpulkan bahwa posisi ajaran karma adalah sebagai landasan dalam bermoral
dan beretika (sīla), sebagai salah satu bentuk berlakunya paṭiccasamuppāda, dan
sebagai filsafat jalan tengah.


BAB III
PENGARUH PEMAHAMAN AJARAN KARMA
TERHADAP POLA PIKIR MASYARAKAT BUDDHIS
Pengetahuan yang dimiliki umat Buddha tentang ajaran karma berbedabeda.
Pengetahuan yang berbeda-beda tersebut akan mempengaruhi pemahaman
terhadap ajaran karma antara orang yang satu dengan orang yang lain. Umat
Buddha ada yang memiliki pemahaman benar dan juga ada yang memiliki
pemahaman salah terhadap ajaran karma. Pemahaman terhadap ajaran karma
tersebut akan mempengaruhi pola pikirnya. Dalam bab ini akan dibahas tentang
pemahaman yang benar terhadap ajaran karma yang dapat menimbulkan pola
pikir positif bagi umat Buddha dan pemahaman yang salah terhadap ajaran karma
yang dapat menimbulkan pola pikir negatif bagi umat Buddha.
A. Pengaruh Negatif dari Pemahaman Salah terhadap Ajaran Karma
1. Pandangan Salah terhadap Ajaran Karma
Pemahaman ajaran karma yang kurang mendalam menyebabkan umat
Buddha memiliki pemahaman yang salah terhadap ajaran karma. Pemahaman
yang salah terhadap ajaran karma menyebabkan umat Buddha memiliki
pandangan salah terhadap ajaran karma. Pandangan salah yang dimiliki oleh umat
Buddha akan mempengaruhi pola pikirnya dalam kehidupan sehari-hari.
Pandangan salah tersebut menyebabkan umat Buddha mempunyai pola pikir
negatif. Pola pikir yang negatif akan mempengaruhi umat Buddha dalam berbuat
dan bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman yang salah
terhadap ajaran karma dapat dilihat dari pemahaman orang yang menganggap
bahwa karma bersifat deterministik dan fatalistik.
a. Karma Bersifat Deterministik
Pandangan tentang ajaran karma yang bersifat deterministik sudah ada
pada saat Buddha Gotama masih hidup. Pandangan deterministik ini dianut oleh
beberapa petapa dan brahmana yang hidup dalam masa kehidupan Buddha.
Deterministik adalah kata sifat dari determinisme. Determinisme adalah paham
yang menganggap suatu kejadian atau tindakan, baik yang menyangkut jasmani
maupun rohani, merupakan konsekuensi kejadian sebelumnya dan ada di luar
kemauan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 259). Paham ini mengajarkan
bahwa segala sesuatu yang terjadi pada kehidupan yang sekarang sudah
ditentukan sebelumnya. Segala sesuatu yang terjadi tidak dapat dikontrol dan
diluar kendali dari seseorang. Menurut Chaplin (1969: 133), determinisme adalah
doktrin yang menyatakan bahwa untuk setiap dampak pasti ada sebabnya. Paham
ini menganggap bahwa semua bentuk tingkah laku merupakan satu fungsi dari
faktor-faktor penyebab, baik yang terdapat di tengah lingkungan individu maupun
yang ada di dalam dirinya sendiri. Dalam hal ini perbuatan atau tingkah laku
(kamma) merupakan sebab tunggal yang menentukan kehidupan yang sekarang.
Dalam Aṅguttara Nikāya I (Woodward, 2000: 157), Buddha menjelaskan
tiga pandangan determinisme. Salah satu dari pandangan tersebut adalah
pandangan deterministik tentang karma. Buddha mengatakan bahwa:
There are certain recluses and Brahmins who teach thus. Who hold this
view: Whatsoever weal or woe or neutral feeling is experienced, all that is
due to some previous action. There are others who teach: Whatsoever
weal or woe or neutral feeling is experienced, all that is due to the
creation of a Supreme Deity. Other teach that all such are uncaused and
unconditioned.
Buddha menjelaskan bahwa ada tiga pandangan deterministik yang dimiliki oleh
beberapa petapa dan brahmana. Pandangan deterministik ini adalah bahwa segala
sesuatu yang dialami oleh seseorang, perasaan menyenangkan, perasaan
menyakitkan, dan perasaan netral disebabkan oleh tindakan atau perbuatan masa
lampau (karma lampau), otoritas tertinggi, dan tanpa sebab atau tidak
dikondisikan. Buddha mengomentari ketiga pandangan tersebut dalam Aṅguttara
Nikāya I (Woodward, 2000: 157-158) bahwa: ”Jika segala sesuatu ditentukan oleh
tindakan atau perbuatan masa lampau (karma lampau), otoritas tertinggi, dan
tanpa sebab atau tidak dikondisikan, maka ketiga hal tersebut yang menyebabkan
seseorang melakukan tindakan seperti: membunuh, mencuri, terlibat dalam
perilaku sosial yang salah (berzinah), berbohong, mengucapkan kata-kata kasar,
memfitnah, berbicara hal-hal yang tidak ada gunanya, menuruti kesenangan
indera, memiliki niat jahat, dan berpandangan salah. Seseorang yang menganggap
bahwa tindakan atau perbuatan masa lampau (karma lampau), otoritas tertinggi,
dan tanpa sebab atau tidak dikondisikan sebagai faktor penentu, maka tidak
memiliki semangat dan usaha untuk melakukan segala sesuatu serta tidak dapat
menghentikan perbuatan (kamma)”. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga
pandangan tersebut merupakan pandangan deterministik. Payutto (1993: 83),
menjelaskan tentang tiga pandangan deterministik ini, yaitu:
1) Kepercayaan bahwa kebahagiaan dan penderitaan disebabkan oleh karma
yang lampau atau perbuatan masa lampau disebut sebagai pubbekatahetuvāda
atau pubbekatavāda. Pandangan ini menjelaskan bahwa perbuatan (karma)
masa lalu yang menyebabkan seseorang mengalami kebahagiaan dan
penderitaan. Pandangan ini disebut sebagai determinisme karma.
2) Kepercayaan bahwa segala kebahagiaan dan penderitaan disebabkan oleh
otoritas tertinggi, yaitu makhluk supranatural, Tuhan, dan para dewa disebut
sebagai issaranimmānahetuvāda. Pandangan ini mengajarkan tentang
kebahagiaan dan penderitaan yang dialami oleh seseorang disebabkan oleh
suatu kekuatan di luar diri seseorang, yaitu oleh Tuhan atau para dewa. Tuhan
atau para dewa yang menentukan kehidupan seseorang terlahir dalam keadaan
yang diliputi kebahagiaan maupun penderitaan. Pandangan ini disebut sebagai
determinisme teistik. Kepercayaan ini dianut oleh orang-orang yang beragama
teis yang menganggap bahwa Tuhan yang mengatur kehidupan manusia,
termasuk kebahagiaan dan penderitaan yang dialami manusia.
3) Kepercayaan bahwa segala kebahagiaan dan penderitaan terjadi tanpa adanya
sebab disebut sebagai ahetupaccayavāda atau ahetuvāda. Pandangan ini
mengajarkan bahwa segala sesuatu yang dialami oleh manusia, kesakitan dan
kesenangan terjadi tanpa adanya suatu sebab. Pandangan ini disebut sebagai
indeterminisme. Indeterminisme adalah ajaran tentang kehendak (kemauan
manusia) yang bebas tidak terbatas (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005:
429). Dengan memegang kepercayaan tersebut maka seseorang menganggap
bahwa segala perbuatan yang dilakukan tidak akan menimbulkan hasil atau
akibat apapun.
Determinisme karma menjelaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi pada
seseorang merupakan akibat dari perbuatan (karma) yang dilakukan masa lalu.
Karma lampau dianggap yang menyebabkan seseorang terlahir dalam keadaan
yang diliputi kebahagiaan maupun penderitaan. Umat Buddha yang memegang
pandangan salah ini, yaitu karma adalah determinisme, akan mempunyai pola
pikir negatif yang akan berpengaruh terhadap perbuatan dan tingkah-lakunya
sehari-hari.
Pandangan determinisme tentang karma juga terdapat dalam Devadaha
Sutta, Majjhima Nikāya III (Horner, 1999: 3). Buddha mengatakan bahwa:
There are, monks, some recluses and brahmans who speak thus and are of
these views: Whatever this individual experiences, whether pleasant or
painful or neither painful nor pleasant, all is due to what was previously
done. Thus by burning up, by making and end of ancient deeds, by the
non-doing of new deeds, there is no overflowing into the future. From
there being no overflowing into the future comes the destruction of deeds;
from the destruction of deeds comes destruction of anguish; from the
destruction of anguish comes destruction of feeling; from the destruction
of feeling all anguish will become worn away.
Buddha menjelaskan bahwa ada beberapa petapa dan brahmana yang memiliki
pandangan salah. Mereka mengatakan bahwa kebahagiaan dan penderitaaan yang
dialami oleh seseorang disebabkan oleh perbuatan (karma) yang dilakukan di
masa lampau. Mereka menganggap karma lampau menjadi penyebab seseorang
terlahir dalam keadaan yang diliputi kebahagiaan maupun penderitaan. Pandangan
deterministik terhadap karma ini mengarahkan mereka pada paham eternalis
(kekekalan). Mereka berkeyakinan bahwa seseorang dapat menghilangkan
penderitaan melalui penyiksaan diri. Mereka menganggap dengan melakukan
penyiksaan diri dan tidak melakukan kamma buruk yang baru, maka kamma buruk
yang lampau dapat dihentikan dan tidak akan ada akibatnya di masa yang akan
datang. Dengan terhentinya kamma, maka terhentilah penderitaan. Dengan
terhentinya penderitaan, maka perasaan akan terhenti. Dengan terhentinya
perasaan, maka semua penderitaan akan lenyap. Demikianlah pandangan
deterministik yang dimiliki oleh beberapa petapa dan brahmana yang
membawanya pada jalan ekstrim yang dihindari oleh Buddha, yaitu jalan
penyiksaan diri yang digunakan sebagai jalan untuk menghentikan penderitaan.
Pandangan deterministik tentang karma yang menganggap bahwa
perbuatan masa lalu atau karma masa lampau yang menyebabkan seseorang
mengalami kebahagiaan dan penderitaan dalam kehidupan sekarang ini akan
membuat seseorang menjadi pasrah. Umat Buddha yang memiliki pandangan
bahwa karma lampau yang menentukan kehidupan sekarang ini akan membuatnya
memiliki pandangan salah, yaitu karma disamakan dengan takdir atau nasib.
Pandangan ini mengarah pada pengertian bahwa karma adalah ajaran fatalisme.
Narada (1988: 343-344) mengemukakan bahwa bila kehidupan saat ini
sepenuhnya terbentuk atau dikendalikan seluruhnya oleh perbuatan masa lalu,
maka kamma sama dengan fatalisme yang sudah dikodratkan atau takdir. Hal ini
sama dengan Tuhan atau dewa yang memiliki kekuasaan untuk menentukan nasib
dan kehidupan.
b. Karma bersifat Fatalistik
Pandangan salah bahwa karma sama dengan nasib atau takdir
menyebabkan umat Buddha mempunyai pandangan fatalistik. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2005: 314), fatalisme adalah ajaran atau paham bahwa
manusia dikuasai oleh nasib. Paham ini mengajarkan bahwa kebahagiaan dan
penderitaan yang dialami oleh manusia sudah ditentukan sebelumnya atau sudah
ditakdirkan. Fatalisme yang berhubungan dengan karma menjelaskan bahwa
segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan manusia sekarang ini telah
ditentukan sepenuhnya oleh karma. Dalam hal ini, karma dianggap sebagai satusatunya
sebab yang menyebabkan seseorang mengalami kebahagiaan dan
penderitaan.
Selain itu, mereka berpandangan bahwa kebahagiaan dan penderitaan yang
dialami oleh manusia tidak dapat diubah karena telah menjadi nasib atau telah
digariskan oleh karma. Sebagai contoh, misalnya seseorang yang terlahir sebagai
orang yang miskin, maka tidak akan dapat menjadi orang kaya karena hal tersebut
merupakan nasib yang harus diterima. Pandangan fatalistik tentang karma ini yang
akan menyebabkan umat Buddha mempunyai pola pikir negatif yang tidak sesuai
dengan ajaran Buddha.
2. Pola Pikir Negatif Masyarakat Buddhis karena Pemahaman Salah
terhadap Ajaran Karma
Pandangan-pandangan salah mengenai ajaran karma bahwa karma adalah
bersifat deterministik dan fatalistik akan mempengaruhi umat Buddha dalam
kehidupan sehari-hari. Pandangan salah tersebut akan mempengaruhi pola pikir
umat Buddha. Umat Buddha cenderung mempunyai pola pikir yang negatif yang
akan mempengaruhi kehidupan dan tingkah-lakunya. Pandangan salah tersebut
akan membuat seseorang melakukan tindakan dan perbuatan yang kurang sesuai
dengan ajaran Buddha. Pola pikir negatif tersebut, yaitu:
a. Fatalistis
Pemahaman salah bahwa karma adalah fatalisme menyebabkan umat
Buddha memiliki pola pikir yang fatalistis. Umat Buddha yang memiliki pola
pikir yang fatalistis maka akan menjadi orang yang fatalis. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2005: 314), fatalis adalah orang yang percaya atau menyerah
saja kepada nasib. Umat Buddha akan menyerah kepada nasib yang sudah
ditentukan oleh karmanya sendiri karena dianggap tidak dapat diubah olehnya.
Misalnya, umat Buddha hidup dalam keadaan yang miskin, maka hal tersebut
merupakan hasil karma yang tidak dapat diubah olehnya. Umat Buddha akan
pasrah dengan nasibnya sebagai seseorang yang terlahir sebagai orang miskin.
Pola pikir yang fatalistis ini menyebabkan seseorang menjadi pasrah dengan
keadaan.
b. Dogmatik
Pemahaman yang salah mengenai ajaran karma bahwa karma sama dengan
takdir atau nasib dapat menyebabkan seseorang memiliki pola pikir yang
dogmatik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 272), dogmatis adalah
paham yang berdasarkan dogma, sedangkan dogma adalah pokok ajaran (tentang
kepercayaan dan sebagainya) yang harus diterima sebagai hal yang benar dan
baik, tidak boleh dibantah dan diragukan. Menurut Chaplin (1969: 145), dogma
adalah suatu pernyataan atau keyakinan yang harus diterima atas dasar
kepercayaan pada otoritas. Otoritas yang dimaksud adalah Tuhan atau para dewa.
Kepercayaan bahwa karma sama dengan nasib atau takdir yang menentukan
kehidupan manusia menyebabkan seseorang mempunyai paham dogmatik. Dapat
disimpulkan bahwa pola pikir dogmatik adalah pola pikir yang berdasarkan pada
dogma. Karma sama dengan nasib atau takdir dianggap sebagai dogma yang harus
diterima sebagai hal yang benar, tidak dapat dibantah, dan tidak boleh diragukan.
Pola pikir dogmatik yang disebabkan oleh pemahaman salah terhadap ajaran
karma, misalnya penderitaan yang dialami oleh seseorang merupakan akibat
karma yang tidak dapat diubah, maka hal tersebut merupakan hal yang benar dan
tidak diragukan lagi.
c. Pesimis
Pandangan salah tentang ajaran karma yang menganggap bahwa karma
sama dengan nasib atau takdir akan membuat seseorang mempunyai pola pikir
yang pesimis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 866), pesimis adalah
orang yang bersikap atau berpandangan tidak mempunyai harapan baik; orang
yang mudah putus harapan. Pola pikir pesimis membuat orang tidak bersemangat,
tidak mau berusaha, dan pasrah dengan keadaan. Dengan memiliki pandangan
bahwa segala sesuatu sudah ditakdirkan mengakibatkan seseorang tidak
bersemangat dalam menjalani kehidupan. Mereka tidak mempunyai tujuan hidup
karena segalanya telah diatur. Sebagai contoh, seseorang yang terlahir sebagai
orang miskin, maka akan mempunyai sikap yang pesimis bahwa dia tidak akan
dapat menjadi orang kaya. Orang tersebut cenderung tidak mau berusaha untuk
mengubah nasibnya dan pasrah dengan keadaan.
d. Egoistik
Umat Buddha yang memiliki pandangan fatalistik akan mengakibatkan
orang tersebut menjadi orang yang egois. Egois dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2005: 285) disebut sebagai orang yang selalu mementingkan diri
sendiri. Egois merupakan perwujudan dari paham egoisme. Mangunhardjana
(1997: 58-59) menjelaskan bahwa egoisme merupakan ajaran yang menjelaskan
bahwa kepentingan diri sendiri menjadi satu-satunya motif dan tujuan dalam
segala perbuatan, dan berlawanan dengan fakta kehidupan. Umat Buddha
menganggap bahwa segala sesuatu telah menjadi nasib atau takdir, maka akan
menjadi orang yang egois tidak mau membantu orang lain yang mengalami
penderitaan. Umat Buddha menganggap bahwa penderitaan yang dialami oleh
orang tersebut sudah menjadi nasib atau takdir yang harus diterimanya. Sebagai
contoh, seseorang yang terlahir dalam keluarga yang kaya. Dia mengetahui bahwa
ada tetangganya yang sedang sakit dan butuh pertolongan untuk dibawa ke rumah
sakit. Dia tidak mau membantu tetangganya tersebut kerena menganggap bahwa
keadaan yang dialami oleh tetangganya tersebut merupakan takdir atau nasib yang
harus dialami. Seseorang dapat mempunyai pola pikir egoistik karena
pandangannya tersebut.
e. Apatis
Umat Buddha yang mempunyai pandangan bahwa karma adalah nasib atau
takdir menyebabkannya memiliki pola pikir apatis. Apatis adalah acuh tidak acuh;
tidak peduli; masa bodoh (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 60). Umat
Buddha cenderung bersikap acuh tidak acuh dan tidak peduli dengan penderitaan
yang dialami oleh orang lain. Penderitaan yang dialami orang lain merupakan
nasib atau takdir yang tidak dapat diubah dan harus diterimanya sendiri. Misalnya,
seorang umat Buddha yang melihat orang lain yang terkena musibah kecelakaan
dan harus segera dibawa ke rumah sakit. Umat Buddha yang memiliki pola pikir
apatis tidak mau menolong dengan pura-pura tidak melihat, tidak peduli, atau
masa bodoh dengan keadaan yang dialami oleh orang yang terkena musibah
tersebut.
B. Pengaruh Positif dari Pemahaman Benar terhadap Ajaran Karma
1. Pandangan Benar (sammā diṭṭhi) terhadap Ajaran Karma
Pemahaman yang benar terhadap ajaran karma akan menimbulkan suatu
pandangan benar. Pandangan benar yang dimaksud adalah pandangan benar
(sammā diṭṭhi) yang terdapat dalam jalan mulia berunsur delapan atau jalan mulia
berfaktor delapan (ariya aṭṭhaṅgika magga). Jalan mulia berfaktor delapan (ariya
aṭṭhaṅgika magga) terdiri dari pandangan benar (sammā diṭṭhi), pikiran benar
(sammā saṅkappa), perkataan benar (sammā vaca), perbuatan benar (sammā
kammanta), mata pencaharian benar (sammā ājiva), usaha benar (sammā
vāyāma), perhatian benar (sammā sati), dan konsentrasi benar (sammā samādhi).
Pandangan benar dalam jalan mulia berfaktor delapan (ariya aṭṭhaṅgika magga)
merupakan pandangan benar yang menghindari dua jalan ekstrim, yaitu menuruti
kesenangan hawa nafsu dan melaksanakan penyiksaan diri. Dua jalan ekstrim
tersebut dijelaskan oleh Buddha dalam Dhammacakkapavatana Sutta, Saṁyutta
Nikāya II (Bodhi, 2000: 1844): “The pursuit of sensual happiness in sensual
pleasures, which is low, vulgar, the way of worldlings, ignoble, unbeneficial; and
the pursuit of self-mortification, which is painful, ignoble, unbeneficial”. Dua
jalan ekstrim tersebut juga terdapat dalam Mahāvagga, Vinaya Piṭaka IV (Horner,
2000: 15):
That which is, among sense-pleasures, addiction to attractive sensepleasures,
low of the villager, of the average man, unariyan, not connected
with the goal: and that which is addiction to self torment, ill, unariyan, not
connected with the goal.
Dua jalan tersebut tidak membawa manfaat dan hanya mengakibatkan
penderitaan. Sebaliknya, jalan mulia berfaktor delapan (ariya aṭṭhaṅgika magga)
yang salah satunya adalah pandangan benar merupakan jalan yang dapat
membawa ke penghentian penderitaan (dukkha).
Pandangan benar merupakan salah satu faktor yang penting untuk
menghentikan penderitaan (dukkha). Pandangan benar dikatakan sebagai titik
awal segenap jalan atau sebagai pelopor dan pemandu bagi semua faktor lainnya
(Bodhi, Tanpa tahun: 20). Misalnya, seseorang mempunyai pandangan benar
bahwa membunuh binatang adalah perbuatan yang tidak baik dan akan
menimbulkan akibat yang buruk, maka hal tersebut akan mempengaruhi pikiran,
ucapan, perbuatan, mata pencaharian, usaha, dan meditasi yang akan
dilakukannya. Dengan memiliki pandangan benar tersebut, maka seseorang dalam
pikirannya tidak akan mempunyai keinginan jahat untuk membunuh binatang;
tidak akan menyuruh orang lain untuk membunuh binatang; dan tidak akan
membunuh binatang dengan tangannya sendiri. Orang tersebut juga tidak akan
berdagang binatang yang akan disembelih seperti ayam, kambing, dan sapi. Dia
akan berusaha dalam dirinya untuk menghilangkan pikiran buruk, yaitu berpikir
untuk membunuh binatang dan berusaha mengembangkan cinta kasih kepada
binatang. Seseorang yang memiliki pandangan benar bahwa membunuh adalah
perbuatan buruk, maka ia akan menggunakan objek cinta kasih kepada binatang
dalam bermeditasi. Penjelasan tersebut menjelaskan bahwa pandangan benar akan
mempengaruhi tujuh jalan mulia yang lain.
Menurut Kaharuddin (2004: 240), terdapat tiga macam pandangan benar,
yaitu pandangan benar terhadap karma, pandangan benar terhadap sepuluh
persoalan, dan pandangan benar mengenai empat kebenaran mulia (ariya sacca).
Hal tersebut menunjukkan bahwa pemahaman benar terhadap ajaran karma
merupakan salah satu bentuk dari pandangan benar (sammā diṭṭhi). Pandangan
benar terhadap karma dijelaskan melalui enam hal, yaitu: ”Semua makhluk adalah
pemilik dari karmanya sendiri (kammassakā); pewaris karmanya sendiri
(kammadāyādā); terlahir dari karmanya sendiri (kammayoni); berhubungan
dengan karmanya sendiri (kammabandhu); terlindung dari karmanya sendiri
(kammapaṭisaranā); dan perbuatan baik dan buruk yang dilakukan akan diwarisi
olehnya”.
Menurut Bodhi (Tanpa tahun: 25), pandangan benar terhadap ajaran karma
disebut sebagai pandangan benar mengenai kepemilikan perbuatan
(kammassakatā sammā diṭṭhi). Pandangan benar terhadap karma tersebut
dijelaskan oleh Buddha dalam Aṅguttara Nikāya V (Woodward, 2003: 187):
”Monks, beings are responsible for their deeds, heirs to their deeds, they are the
womb of their deeds, kinsmen of their deeds, to them their deeds come home
again”. Hal tersebut juga terdapat dalam Cūḷakammavibhaṅga Sutta, Majjhima
Nikāya III (Horner, 2000: 249): “Deeds are one’s own, brahman youth, beings
are heirs to deeds, deeds are matrix, deeds are kin, deeds are arbiters”.
Kammassakā mempunyai pengertian bahwa semua makhluk adalah
pemilik karmanya sendiri. Uttamarasa (2004: 35) memberikan contoh bahwa harta
benda seperti emas, perak, batu permata, bangunan, perusahaan, dan lain-lain
bukan milik manusia karena dapat rusak, pecah, dan hancur atau berpindah milik
ke orang lain. Berdana, melakukan tindakan yang bermoral, dan melaksanakan
samatha bhāvanā dan vipassanā bhāvanā adalah perbuatan baik yang disebut
sebagai milik seseorang. Perbuatan atau karma merupakan milik seseorang atau
dengan kata lain yang dimiliki oleh seseorang hanyalah perbuatan atau karmanya
sendiri dan bukan harta benda. Segala bentuk perbuatan baik dan tidak baik yang
telah dilakukan oleh seseorang adalah yang menjadi miliknya.
Kammadāyādā mempunyai pengertian bahwa semua makhluk adalah
pewaris dari karmanya sendiri. Ledi (1965: 138), memberikan penjelasan tentang
seseorang yang mewarisi harta benda dari orang tuanya tidak dapat disebut
sebagai pewaris dalam pengertian yang sebenarnya. Harta benda seperti emas,
perak, dan batu permata mempunyai sifat hanya sementara dan tidak kekal. Oleh
karena itu, seseorang tidak dapat disebut sebagai pewaris dalam konteks yang
sebenarnya. Pewaris dalam konteks yang sebenarnya adalah pewaris dari
perbuatan atau karma. Seseorang yang melakukan segala bentuk perbuatan baik
dan tidak baik akan menjadi pewaris dari perbuatan yang telah dilakukan.
Kammayoni mempunyai pengertian bahwa semua makhluk adalah terlahir
dari karmanya sendiri. Seseorang yang melakukan perbuatan baik seperti berdana,
melaksanakan sīla, dan melaksanakan meditasi akan terlahir di alam manusia,
dewa, dan brahma. Sebaliknya, seseorang yang melakukan perbuatan tidak baik
seperti membunuh, mencuri, dan melakukan perzinahan akan terlahir di alam
binatang, setan, dan neraka. Perbuatan yang dilakukan oleh seseorang menentukan
kelahiran kembali di alam-alam kehidupan. Tetapi harus digarisbawahi bahwa
perbuatan atau karma bukan satu-satunya sebab yang mengakibatkan kelahiran
kembali semua makhluk.
Kammabandhu mempunyai pengertian bahwa semua makhluk
berhubungan atau berkerabat dengan karmanya sendiri. Seseorang berhubungan
atau berkerabat dengan orang tua, saudara-saudaranya, anak-anaknya, kerabatnya,
gurunya dan teman-temannya, tetapi hanya dalam waktu yang tidak lama yaitu
sebelum meninggal. Seseorang akan berhubungan atau berkerabat dengan
karmanya sendiri bukan hanya dalam kehidupan sekarang ini saja tetapi juga
dalam kehidupan yang akan datang. Perbuatan atau karma yang dilakukan
seseorang merupakan kerabat atau teman dalam konteks yang sebenarnya.
Kammapaṭisaranā mempunyai pengertian bahwa semua makhluk akan
terlindung dari karmanya sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang
mempunyai alat atau cara untuk melindunginya dari bahaya. Sebagai contoh
misalnya makanan dan minuman melindungi seseorang dari bahaya kelaparan;
dokter dan obat akan melindunginya dari sakit dan penyakit; dan senjata akan
melindungi seseorang dari musuh, tetapi alat dan cara tersebut hanya dapat
melindungi seseorang sesaat saja. Perbuatan baik seperti berdana dan
melaksanakan sīla dapat melindungi seseorang dalam kehidupan sekarang ini dan
juga melindungi seseorang dari kelahiran di alam yang rendah pada kehidupan
yang selanjutnya.
Buddha mengungkapkan tentang pandangan benar tentang kepemilikan
perbuatan dalam Cūḷakammavibhaṅga Sutta, Majjhima Nikāya tersebut untuk
menjawab pertanyaan dari pemuda yang bernama Subha Todeyyaputta. Subha
Todeyyaputta menanyakan kepada Buddha mengapa ada perbedaan diantara umat
manusia. Subha Todeyyaputta bertanya mengapa ada manusia yang berumur
pendek (appāyukā) dan berumur panjang (dighāyuka); berpenyakit (bavhābādhā)
dan sehat (appābādhā); jelek (dubbaṇṇā) dan rupawan (vaṇṇavanta); tak
berpengaruh (appesakkā) dan berpengaruh (mahesakka); miskin (appabhoga) dan
kaya (mahabhogā), hina (nīcakulīnā) dan mulia (uccakulīnā); serta dungu
(duppannā) dan bijaksana (paññāvantā). Kemudian Buddha memberikan
penjelasan bahwa “makhluk-makhluk memiliki karma mereka sendiri, pewaris
dari karma mereka sendiri, terlahir dari karmanya sendiri, karma sebagai keluarga
mereka sendiri, dan kamma sebagai pelindung mereka. Perbuatan atau karma yang
menyebabkan rendah dan tinggi martabat seseorang (kammassakā mānava sattā,
kammadāyādā, kammayoni, kammabandhu, kammapaṭisaranā, kammaṁ satte
vibhajati yadidaṁ hinappaṇītatāya’ti) “.
Pandangan benar mengenai sepuluh persoalan adalah adanya kebajikan
yang tertinggi dalam berdana; adanya kebajikan dalam pemberian yang banyak;
adanya kebajikan dalam pemberian yang sedikit; adanya akibat dari perbuatan
yang buruk maupun yang baik; adanya kebajikan dalam perbuatan yang dilakukan
terhadap ibu; adanya kebajikan dalam perbuatan yang dilakukan terhadap ayah;
adanya makhluk-makhluk yang lahir secara spontan; adanya dunia ini; adanya
dunia atau alam-alam kehidupan yang lain; dan adanya para petapa dan para
brahmana (yang telah menjadi Buddha dan arahat) yang melakukan latihan yang
benar, yang memiliki pencapaian yang benar, yang mendapatkan kesunyataan
melalui usahanya sendiri, di dunia ini maupun di alam kehidupan lainnya, dan
mengajarkan kesunyataan itu kepada makhluk-makhluk lainnya. Kesepuluh hal
tersebut menurut Bodhi (Tanpa tahun: 25) disebut sebagai pandangan benar yang
berhubungan dengan karma. Pandangan benar ini terdapat dalam Mahācattārīsaka
Sutta, Majjhima Nikāya III (Horner, 1999: 115). Buddha mengatakan:
There is (result of) gift, there is (result of) offering, there is (result of)
sacrifice; there is fruit and ripening of deeds well done or ill done; there is
this world, there is a world beyond; there is (benefit from serving) mother
and father; there are spontaneously arising beings; there are in the world
recluses and brahmans who are faring rightly, proceeding rightly, and
who proclaim this world and the world beyond having realized them by
their own super-knowledge. This, monks, is a right view that has cankers,
is on the side of merit, that ripens unto cleaving (to new birth).
Kesepuluh hal tersebut terdapat sedikit perbedaan antara yang terdapat di
Mahācattārīsaka Sutta dengan apa yang dikemukakan oleh Kaharuddin. Tiga hal
yang dikemukakan oleh Kaharuddin, yaitu adanya kebajikan yang tertinggi dalam
berdana, adanya kebajikan dalam pemberian yang banyak, dan adanya kebajikan
dalam pemberian yang sedikit berbeda dengan tiga hal yang terdapat dalam
Mahācattārīsaka Sutta. Dalam Mahācattārīsaka Sutta, tiga hal tersebut adalah
adanya akibat dari pemberian, adanya akibat dari penawaran, dan adanya akibat
dari pengorbanan.
Pandangan benar terhadap empat kesunyataan mulia atau kebenaran mulia,
yaitu tentang adanya dukkha, tentang sebab dukkha, tentang lenyapnya dukkha,
dan tentang jalan untuk melenyapkan dukkha. Pandangan benar terhadap empat
kesunyataan mulia terdapat dalam Mahāsatipaṭṭhāna Sutta, Dīgha Nikāya II
(Davids, 2002: 343): ”Bhikkhus, is right view? Knowledge, bhikkhus, about ill
(dukkha), knowledge about the coming to be of ill, knowledge about the cessation
of ill, knowledge about the way that leads to the cessation of ill. This is what is
called right view”. Pandangan benar terhadap empat kesunyataan mulia juga
terdapat dalam Sammadiṭṭhi Sutta, Majjhima Nikāya I (Horner, 2000: 60):
When, your reverences, a disciple of the ariyans comprehends anguish, its
uprising, its stopping, and the course leading to its stopping, to this extent
also, your reverences, does a disciple of the ariyans come to be of perfect
view, one whose view is upright.
Kebenaran mulia tentang penderitaan (dukkha ariyasacca) menjelaskan bahwa
kelahiran, usia tua, kematian, kesedihan, ratap-tangis, kepedihan hati,
keputusasaan, berkumpul dengan orang yang tidak disenangi, berpisah dengan
orang yang dicintai, tidak mendapatkan apa yang diinginkan, dan lima gugusan
pembentuk atau pancakhanda (badan jasmani, perasaan, pencerapan, bentukbentuk
batin, dan kesadaran) yang menyebabkan kemelekatan disebut sebagai
penderitaan (dukkha). Penderitaan bukan hanya penderitaan secara fisik tetapi
juga penderitaan batin. Kebenaran mulia tentang sebab penderitaan
(dukkhasamudaya ariyasacca) menjelaskan bahwa sebab dari penderitaan adalah
karena nafsu-nafsu keinginan (taṇhā). Nafsu keinginan ini yang menyebabkan
makhluk melakukan perbuatan (karma) yang menyebabkan kelahiran kembali.
Kebenaran mulia tentang lenyap atau musnahnya penderitaan (dukkhanirodha
ariyasacca) menjelaskan bahwa lenyapnya penderitaan adalah lenyapnya nafsu,
terbebas dari kesenangan, dan tidak terikat oleh kesenangan. Lenyapnya
penderitaan disebut sebagai tercapainya nibbāna karena nibbāna adalah kondisi
terhentinya kebencian (dosa), keserakahan (lobha), dan kebodohan batin (moha).
Dalam Saṁyutta Nikāya II (Bodhi, 2000: 1528), Buddha mengatakan: “This,
bhikkhu, is a designation for the element of nibbana: the removal of lust, the
removal of hatred, the removal of delusion”. Kebenaran mulia tentang jalan untuk
melenyapkan atau memusnahkan penderitaan (dukkhanirodhagāminī patipadā)
menjelaskan bahwa jalan untuk melenyapkan atau memusnahkan penderitaan
adalah jalan mulia berfaktor delapan (ariya aṭṭhaṅgika magga), yaitu pandangan
benar (sammā diṭṭhi), pikiran benar (sammā saṅkappa), perkataan benar (sammā
vaca), perbuatan benar (sammā kammanta), mata pencaharian benar (sammā
ājiva), usaha benar (sammā vāyāma), perhatian benar (sammā sati), dan
konsentrasi benar (sammā samādhi).
Pemahaman benar terhadap ajaran karma yang akan menimbulkan
pandangan benar (sammā diṭṭhi) juga terdapat dalam Sammadiṭṭhi Sutta, Majjhima
Nikāya. Buddha dalam Sammadiṭṭhi Sutta, Majjhima Nikāya I (Horner, 2000: 58),
menjelaskan bahwa: "When a disciple of the ariyans comprehends unskill and
unskill's root, and comprehends skill and skill's root, to this extent, your
reverences, does a disciple of the ariyans come to be of perfect view, one whose
view is upright". Seseorang yang memiliki pemahaman benar terhadap ajaran
karma dikatakan memiliki pandangan benar (sammā diṭṭhi). Pandangan benar
terhadap ajaran karma tersebut terdiri dari empat hal, yaitu memahami perbuatan
baik (kusala), memahami akar dari perbuatan baik (kusalamula), memahami
perbuatan tidak baik (akusala), dan memahami akar dari perbuatan tidak baik
(akusalamula). Perbuatan baik dan perbuatan tidak baik tersebut dapat diartikan
sebagai hal yang bermanfaat dan hal yang tidak bermanfaat. Hal yang bermanfaat
adalah suatu perbuatan yang dilakukan akan membawa manfaat bagi dirinya
sendiri dan makhluk lain. Hal yang tidak bermanfaat adalah suatu perbuatan yang
dilakukan tidak akan membawa manfaat atau merugikan dirinya sendiri dan
makhluk lain.
Seseorang yang memahami perbuatan baik (hal yang bermanfaat) dan akar
dari perbuatan baik (hal yang bermanfaat) dikatakan telah memiliki pandangan
benar. Perbuatan baik atau hal yang bermanfaat tersebut adalah sepuluh macam
perbuatan baik (dāsa kusala kammapatha) yang terdapat dalam Sammadiṭṭhi
Sutta, Majjhima Nikāya I (Horner, 2000: 58):
Restraint from onslaught on creatures is skill, restraint from taking what is
not given is skill, restraint from sexual misconduct is skill, restraint from
lying speech is skill, restraint from slanderous speech is skill, restraint
from harsh speech is skill, restraint from gossip is skill, non-covetise is
skill, non-wrath is skill, perfect view is skill. This, your reverences, is
called skill.
Perbuatan yang bermanfaat tersebut adalah menahan diri dari pembunuhan
pencurian, perbuatan asusila, berbohong, menfitnah, berbicara kasar,
mengucapkan hal yang tidak penting (omong kosong), nafsu keinginan, tidak
memiliki keinginan jahat, dan berpandangan benar. Perbuatan tersebut bila
dilakukan akan membawa manfaat bagi dirinya sendiri dan makhluk lain. Sebagai
contoh, seseorang menahan diri dari pembunuhan mahluk hidup. Dengan
menahan diri dari pembunuhan makhluk hidup, maka seseorang dapat
mengembangkan cinta kasih kepada semua makhluk dan tidak ada suatu makhluk
yang menderita karena dibunuh olehnya. Akar dari perbuatan baik atau hal yang
bermanfaat tersebut adalah tanpa keserakahan (alobha), tanpa kebencian (adosa),
dan tanpa kebodohan batin (amoha). Tiga akar tersebut juga terdapat dalam
Sammadiṭṭhi Sutta, Majjhima Nikāya I (Horner, 2000: 58): ”Non-Greed is skill's
root, non-hatred is skill's root, non-confusion is skill's root. This, your reverences,
is called skill's root”. Tiga akar perbuatan baik tersebut menyebabkan seseorang
melakukan perbuatan-perbuatan baik. Sebagai contoh, seseorang yang diliputi
tanpa kebencian (adosa) maka seseorang akan menahan diri dari pembunuhan
makhluk hidup dan mengembangkan cinta kasih kepada semua makhluk.
Seseorang yang memahami hal yang tidak bermanfaat atau perbuatan tidak
baik (akusala) dan akar-akarnya dikatakan telah memiliki pandangan benar.
Perbuatan tidak baik atau hal yang tidak bermanfaat tersebut adalah sepuluh
macam perbuatan tidak baik (dāsa akusala kammapatha) yang terdapat dalam
Sammadiṭṭhi Sutta, Majjhima Nikāya I (Horner, 2000: 58):
Onslaught on creatures, your reverences, is unskill, taking what is not
given is unskilled, sexual misconduct is unskill, lying speech is unskill,
slanderous speech is unskill, harsh speech is unskill, gossip is unskill,
covetise is unskill, wrath is unskill, wrong view is unskill. This, your
reverences, is called unskill.
Perbuatan yang tidak bermanfaat tersebut adalah membunuh, mencuri, berbuat
asusila, berbohong, menfitnah, berbicara kasar, mengucapkan hal yang tidak
penting (omong kosong), mempunyai nafsu keinginan, mempunyai kemauan
jahat, dan pandangan salah. Perbuatan tersebut bila dilakukan oleh seseorang
maka tidak akan memberikan manfaat dan merugikan dirinya sendiri dan makhluk
lain. Sebagai contoh, seseorang yang melakukan pembunuhan maka perbuatan
tersebut akan merugikan dirinya sendiri dan makhluk lain. Seseorang yang
membunuh binatang maka akan menanggung akibat buruk dari perbuatan yang
dilakukan. Selain itu, perbuatan ini juga mengakibatkan kematian bagi binatang
tersebut. Perbuatan itu merugikan diri sendiri dan makhluk lain. Akar dari
perbuatan tidak baik atau hal yang tidak bermanfaat adalah keserakahan (lobha),
kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha). Hal tersebut juga terdapat dalam
Sammadiṭṭhi Sutta, Majjhima Nikāya I (Horner, 2000: 58): “Greed is unskill's
root, hatred is unskill's root, confusion is unskill's root. This, your reverences, is
called unskill's root”. Tiga akar perbuatan tidak baik tersebut menyebabkan
seseorang melakukan perbuatan-perbuatan tidak baik atau tidak bermanfaat.
Misalnya seseorang diliputi kebencian (dosa), maka akan menyebabkan seseorang
melakukan pembunuhan, menfitnah, dan berkemauan jahat.
Menurut Bodhi (Tanpa tahun: 24), pandangan benar dapat dibagi menjadi
dua jenis, yaitu pandangan benar duniawi dan pandangan benar adiduniawi.
Pandangan benar duniawi mencakup prinsip-prinsip yang dapat membawa
kelahiran di alam yang lebih tinggi dan di alam yang lebih rendah serta membawa
kebahagiaan dan penderitaan. Contoh pandangan benar duniawi adalah pandangan
benar terhadap ajaran karma. Ajaran tentang karma mengajarkan bahwa seseorang
yang yang melakukan perbuatan baik maka akan menyebabkan kebahagiaan dan
kelahiran di alam yang tinggi. Sebaliknya bila seseorang melakukan perbuatan
tidak baik maka akan menyebabkan penderitaan dan kelahiran di alam yang
rendah. Pandangan benar duniawi dikatakan tidak dapat membawa seseorang
menuju pembebasan dan penghentian penderitaan (dukkha). Pandangan benar
adiduniawi adalah pandangan benar yang dapat membawa ke pembebasan dan
penghentian penderitaan (dukkha). Contoh dari pandangan adiduniawi adalah
pandangan benar terhadap empat kebenaran mulia. Pandangan benar terhadap
empat kebenaran mulia dikatakan dapat menghentikan penderitaan (dukkha).
Pandangan benar terhadap ajaran karma tidak dapat membawa seseorang
untuk dapat menghentikan penderitaan bertentangan dengan penjelasan Buddha
yang terdapat dalam Sammadiṭṭhi Sutta. Dalam Sammadiṭṭhi Sutta, Majjhima
Nikāya I (Horner, 2000: 58), Buddha mengatakan bahwa:
When, your reverences, a disciple of the ariyans comprehends unskill thus,
comprehends unskill's root thus, comprehends skill thus, comprehends
skill's root thus, he, having got rid of all addiction to attachment, having
dispelled addiction to shunning, having abolished addiction to the latent
view 'I am,' having got rid of ignorance, having made knowledge arise, is
here-now an end-maker of anguish.
Seseorang yang memiliki pandangan yang benar terhadap ajaran karma, yaitu
memahami hal-hal yang tidak bermanfaat (akusala) serta akarnya dan hal-hal
yang bermanfaat (kusala) serta akarnya maka dia telah melenyapkan nafsu-nafsu
keinginan, menghentikan kemelekatan, dan menghentikan pandangan salah
tentang konsep tentang diri (atta). Dengan melenyapkan kegelapan batin (avijjā)
dan mengembangkan pengetahuan benar (vijjā), maka dengan ini ia mengakhiri
penderitaan (dukkha nirodha).
Dengan melihat hubungan antara pemahaman benar terhadap ajaran
karma, pandangan benar (sammā diṭṭhi), dan empat kebenaran mulia (cattari
ariyasaccani), maka akan dapat dibuktikan bahwa pandangan benar terhadap
ajaran karma dapat membawa ke penghentian penderitaan (dukkha). Pemahaman
terhadap ajaran karma merupakan salah satu bentuk dari pandangan benar yang
terdapat di dalam jalan mulia berfaktor delapan. Jalan mulia berfaktor delapan
(ariya aṭṭhaṅgika magga) merupakan salah satu bentuk dari empat kebenaran
mulia. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pandangan benar
terhadap ajaran karma merupakan bagian dari pandangan benar terhadap empat
kebenaran mulia yang dapat membawa ke penghentian penderitaan (dukkha).
2. Pola Pikir Positif Masyarakat Buddhis karena Pemahaman Benar
terhadap Ajaran Karma
Pemahaman yang benar terhadap ajaran karma dapat menimbulkan pola
pikir yang positif bagi umat Buddha. Pola pikir yang positif adalah optimis dapat
menghentikan karma sehingga dapat terbebas dari penderitaan (dukkha). Buddha
menunjukkan kenyataan bahwa suatu makhluk akan mengalami kelahiran yang
berulang-ulang yang disebabkan salah satunya oleh perbuatan (karma) dan
menunjukkan bahwa hidup ini diliputi oleh penderitaan (dukkha). Kenyataan
tersebut tidak akan menjadikan seseorang menjadi pesimis dan pasrah dengan
keadaan bahwa kehidupan diliputi oleh penderitaan (dukkha), jika seseorang
memahami dengan benar tentang ajaran karma. Pemahaman benar tentang ajaran
karma akan menimbulkan pandangan benar (sammā diṭṭhi) yang terdapat di dalam
jalan mulia berfaktor delapan (ariya aṭṭhaṅgika magga). Jalan mulia berfaktor
delapan (ariya aṭṭhaṅgika magga) merupakan jalan yang dapat membimbing
semua makhluk untuk dapat terbebas dari penderitaan, mencapai nibbāna, dan
juga terbebas dari lingkaran tumimbal lahir atau kelahiran kembali. Dalam
Dhammacakkapavatana Sutta, Saṁyutta Nikāya II (Bodhi, 2000: 1844):
It is this Noble Eightfold Path; that is, right view, right thought, right
speech, right action, right mode of living, right endeavour, right
mindfulness, right concentration. This bhikkhu, is that middle way
awakened to by the Tathāgata, which gives rise to vision, which gives rise
to knowledge, which leads to peace, to direct knowledge, to enlightenment,
to nibbāna.
Dengan mempunyai pemahaman yang benar tentang ajaran karma, maka
umat Buddha akan dapat menghentikan proses karma yang akan
membebaskannya dari kelahiran kembali dan menghentikan penderitaan (dukkha).
Penghentian karma memiliki pengertian menghentikan perbuatan yang dilakukan
melalui badan jasmani, perkataan, dan pikiran. Hal tersebut terdapat dalam
Saṁyutta Nikāya II (Bodhi, 2000: 1212): “When one reaches liberation through
the cessation of bodily action, verbal action, and mental action, this is called the
cessation of kamma”. Menghentikan proses karma berarti menghentikan semua
karma yang dilakukan melalui badan jasmani, perkataan, dan pikiran.
Dalam Saṁyutta Nikāya II (Bodhi, 2000: 1212), Buddha menjelaskan
tentang cara menghentikan karma yaitu dengan jalan mulia berfaktor delapan
(ariya aṭṭhaṅgika magga): “The way leading to the cessation of kamma is Noble
Eightfold Path, that is, righ view, intention, speech, action, livehood, efford,
mindfulness, concentration”. Jalan mulia berfaktor delapan (ariya aṭṭhaṅgika
magga) merupakan jalan yang dapat menghentikan karma. Dalam Saṁyutta
Nikāya II (Bodhi, 2000: 1528-1529), Buddha menjelaskan analisis tentang jalan
mulia berfaktor delapan (ariya aṭṭhaṅgika magga):
a. Pandangan benar (sammā diṭṭhi) adalah pandangan benar tentang empat
kesunyataan mulia atau kebenaran mulia. Buddha mengatakan: ”Knowledge of
suffering, knowledge of the origin of suffering, knowledge of the cessation of
suffering, knowledge of the way leading to the cessation of suffering: this is
called right view”. Pandangan benar ini bukan hanya meliputi pandangan
benar terhadap empat kesunyataan mulia atau kebenaran mulia saja tetapi juga
mencakup pandangan benar tentang ajaran karma (Bodhi, Tanpa tahun: 25).
b. Pikiran benar atau kehendak benar (sammā saṅkappa) adalah pikiran yang
terbebas dari nafsu kesenangan, terbebas dari kehendak atau niat jahat, dan
tidak merugikan makhluk lain. Buddha mengatakan bahwa: ”Intention of
renunciation, intention of non-ill will, intention of harmlessness: this is called
right intention”.
c. Perkataan benar (sammāvaca) adalah perkataan yang menjauhkan diri dari
perkataan bohong, menfitnah, berkata-kata kasar, dan omong kosong. Buddha
mengatakan: ”Abstinence from false speech, abstinence from divisive,
abstinence from harsh speech, abstinence from idle chatter: this is called right
speech”.
d. Perbuatan benar (sammā kammanta) adalah perbuatan yang menghindari
pembuhuhan makhluk hidup, menghindari mengambil barang yang tidak
diberikan, dan menghindari perzinahan. Buddha mengatakan: ”Abstinence
from the destruction of life, abstinence from taking what is not given,
abstinence from sexual misconduct: this is called right action”.
e. Mata pencaharian benar (sammā ājiva) adalah memperoleh pencaharian
dengan mata pencaharian yang benar dan bukan dengan dengan mata
pencaharian yang salah. Buddha mengatakan: ”Here a noble disciple, having
abandoned a wrong mode of livelihood, earns his living by a right livehood:
this is called right livelihood”. Mata pencaharian yang benar merupakan
pencaharian dengan cara yang damai tanpa kekerasan, jujur, dan tidak
merugikan yang dapat menimbulkan penderitaan bagi makhluk lain. Mata
pencaharian yang tidak benar adalah melakukan lima macam perdagangan,
yaitu berdagang senjata, berdagang makhluk hidup, berdagang daging,
berdagang racun, dan berdagang minum-minuman keras. Lima bentuk
perdagangan yang salah tersebut terdapat dalam Aṅguttara Nikāya III (Hare,
2001: 153): “Monks, these five trades ought not to be plied by a lay-disciple.
What five? Trade in weapons, trade in human beings, trade in flesh, trade in
spirits and trade in poison”. Dalam Mahācattārīsaka Sutta, Majjhima Nikāya
III (Horner, 1999: 118), Buddha juga menjelaskan tentang mata pencaharian
yang salah, yaitu: ”And what, monks, is wrong mode of livelihood? Trickery,
cajolery, insinuating, dissembling, rapacity for gain upon again”. Mata
pencaharian yang salah adalah melakukan muslihat, pengkhianatan,
penujuman, tipu daya, dan riba.
f. Usaha benar atau upaya benar (sammā vāyāma) adalah usaha untuk mencegah
timbulnya hal-hal buruk yang belum timbul; meninggalkan hal-hal buruk yang
telah timbul; menimbulkan hal-hal baik yang belum timbul; dan
mempertahankan dan menyempurnakan hal-hal baik yang telah timbul. Usaha
benar tersebut merupakan usaha untuk membuat pikiran diliputi hal-hal yang
baik, seperti cinta kasih. Buddha mengatakan:
Here, bhikkhus, a bhikkhu generates desire for the non-arising of
unarisen evil unwholesome states; he makes effort, arouses energy,
applies arisen evil unwholesome states…he generates desire for the
arising of unarisen wholesome states…he generates desire for the
maintenance of arisen wholesome states, for their non-decay, increase,
expansion, and fulfilment by development; he makes an effort, arouses
energy, applies his mind, and strives. This is called right effort.
g. Perhatian benar (sammā sati) adalah merenungkan tubuh, perasaan, keadaan
pikiran, dan segala fenomena sebagaimana adanya, dengan penuh ketekunan,
pemahaman yang jernih dan perhatian murni, serta meninggalkan keserakahan
dan kesedihan. Buddha mengatakan:
Here, bhikkhus, a bhikkhu dwells contemplating the body in the body,
ardent, clearly comprehending, mindful, having removed covetousness
and displeasure in regard to the world. He dwells contemplating
feelings in feelings, ardent, clearly comprehending, mindful, having
removed covetousness and displeasure in regard to the world. He
dwells contemplating mind in mind, ardent, clearly comprehending,
mindful, having removed covetousness and displeasure in regard to the
world. He dwells contemplating phenomena in phenomena, ardent,
clearly comprehending, mindful, having removed covetousness and
displeasure in regard to the world. This is called right mindfulness.
Perhatian benar merupakan praktik dari vipassanā bhāvanā karena
menggunakan objek tubuh, perasaan, pikiran, dan segala fenomena yang
bertujuan untuk mencapai pandangan terang.
h. Konsentrasi benar (sammā samādhi) adalah memusatkan pikiran pada suatu
objek. Konsentrasi benar ini merupakan praktik dari samatha bhāvanā yang
bertujuan untuk mencapai ketenangan batin. Konsentrasi benar ini akan
membuat seseorang mencapai tingkatan jhāna, yaitu jhāna tingkat pertama,
kedua, ketiga, dan keempat. Buddha mengatakan:
Here, bhikkhus, secluded from sensual pleasures, secluded from
unwholesome states, a bhikkhu enters and dwells in the first jhāna,
which is accompanied by thought and examination, with rapture and
happiness born of seclusion. With the subsiding of thought and
examination, he enters and dwells in the second jhāna, which has
internal confidence and unification of mind, is without thought and
examination, and has rapture and happiness born of concentration.
With the fading away as well as of rapture, he dwells equanimous and,
mindful and clearly comprehending, he experiences happiness with the
body; he enters and dwells in the third jhāna of which the noble ones
declare: ‘He is equanimous, mindful, one who dwells happily.’ With
the abandoning of pleasure and pain, and with the previous passing
away of joy and displeasure, he enters and dwells in the fourth jhāna,
which is neither painful nor pleasant and includes the purification of
mindfulness by equanimity. This is called right concentration.
Jalan mulia berfaktor delapan (ariya aṭṭhaṅgika magga) ini bukan merupakan
suatu jalan yang terpisah atau sendiri-sendiri, tetapi merupakan suatu kesatuan
yang menjadi jalan untuk menghentikan karma. Dengan menghentikan karma,
maka penderitaan (dukkha) juga akan berhenti. Hal tersebut dikatakan oleh
Buddha dalam Aṅguttara Nikāya I (Woodward, 2000: 200) bahwa: “Thus by
destruction of deeds will result the destruction of ill (dukkha)...”.
Pemahaman yang dimiliki oleh umat Buddha tentang ajaran karma dapat
mempengaruhi pola pikir yang menentukan perbuatan dan tingkah lakunya dalam
kehidupan sehari-hari. Pemahaman yang salah terhadap ajaran karma
mengarahkan seseorang kepada pandangan salah terhadap ajaran karma, yaitu
karma bersifat deterministik dan fatalistik yang mengakibatkan pola pikir yang
negatif. Pola pikir yang negatif tersebut adalah fatalistis, dogmatik, pesimis,
egoistik, dan apatis. Sebaliknya, pemahaman yang benar terhadap ajaran karma
akan mengarahkan seseorang pada pandangan benar terhadap ajaran karma yang
menyebabkan pola pikir yang positif. Pola pikir positif tersebut adalah optimis,
yaitu dapat menghentikan karma dan penderitaan.


BAB IV
SOLUSI AGAMA BUDDHA
UNTUK MENGUBAH POLA PIKIR NEGATIF
YANG DISEBABKAN PEMAHAMAN AJARAN KARMA
Pemahaman yang salah terhadap ajaran karma menyebabkan umat Buddha
mempunyai pola pikir yang negatif. Pola pikir yang negatif akan mempengaruhi
dalam berbuat dan bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Umat Buddha
yang mempunyai pola pikir negatif cenderung berbuat yang kurang sesuai dengan
ajaran agama Buddha. Oleh karena itu, pada bab ini akan dibahas tentang solusi
agama Buddha untuk mengubah pola pikir negatif akibat pemahaman yang salah
mengenai ajaran karma.
A. Peran Dhammaduta dalam Mengubah Pola Pikir Negatif Masyarakat
Buddhis
Pola pikir yang dimiliki oleh seseorang sangat menentukan perbuatan dan
tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari. Pola pikir negatif yang dimiliki oleh
umat Buddha akan membuatnya melakukan perbuatan yang menyimpang dari
ajaran Buddha. Pola pikir negatif tersebut selain dapat merugikan dirinya sendiri,
juga dapat merugikan orang lain. Misalnya, seorang bapak yang memiliki pola
pikir pesimis, akan berpengaruh pada istri dan anaknya. Meskipun keluarganya
mengalami kesulitan ekonomi, tetapi ia hanya pasrah dan tidak mau bekerja untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pola pikir
negatif dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, pola
pikir negatif tersebut harus diubah agar umat Buddha berbuat dan bertingkah laku
sesuai dengan ajaran Buddha.
Pemahaman salah terhadap ajaran karma bahwa karma bersifat
deterministik dan fatalistik merupakan sebab yang membuat umat Buddha
mempunyai pola pikir negatif. Oleh karena itu, pemahaman yang benar terhadap
ajaran karma bahwa karma bukan bersifat deterministik dan fatalistik merupakan
solusi yang tepat untuk mengubah pola pikir negatif dari umat Buddha. Dengan
memiliki pemahaman yang benar terhadap ajaran karma, maka umat Buddha
dapat mengubah pola pikir negatif yang dimilikinya.
Pola pikir negatif yang dimiliki oleh umat Buddha dapat diubah oleh
dirinya sendiri dengan bantuan orang lain. Orang lain tidak dapat mengubah,
tetapi hanya dapat membantu untuk mengubah pola pikir dari seseorang.
Misalnya, orang lain memberikan pengertian dan penjelasan bahwa pola pikir
yang dimiliki oleh orang tersebut adalah salah dengan berbagai alasan. Orang lain
menunjukkan bahwa pola pikir yang dimiliki oleh seseorang tersebut akan
merugikan dirinya dan orang lain.
Peran dhammaduta sangat diperlukan untuk mengubah pola pikir negatif
yang dimiliki oleh umat Buddha. Dhammaduta adalah utusan Dhamma, istilah
yang dipakai untuk para bhikkhu yang diutus untuk membabarkan Dhamma
(Kompilasi istilah Buddhis, 2005: 37). Dalam konteks sekarang, dhammaduta
yang dimaksud bukan hanya seorang bhikkhu saja tetapi juga orang-orang yang
mampu mengajarkan Dhamma kepada orang lain, seperti pandita, guru agama
Buddha, mahasiswa, dan sarjana Buddhis. Peran dhammaduta adalah membantu
dengan memberikan penjelasan kepada umat Buddha bahwa ajaran karma bukan
bersifat deterministik dan fatalistik.
Peran bhikkhu sangat diperlukan untuk membantu umat Buddha mengubah
pola pikir negatif yang disebabkan oleh pemahaman yang salah terhadap ajaran
karma. Bhikkhu yang memiliki pemahaman yang lebih, khususnya ajaran karma,
diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai pemahaman yang benar
terhadap ajaran karma. Bhikkhu memberikan penjelasan bahwa ajaran karma
bukanlah suatu ajaran yang mengarah pada deterministik dan fatalistik karena
agama Buddha tidak mengajarkan takdir atau nasib yang menguasai manusia.
Umat Buddha yang memiliki pola pikir negatif diberikan pengertian dengan jelas
bahwa pemahaman yang salah terhadap ajaran karma tersebut dapat membuatnya
memiliki pola pikir yang negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang
lain. Bhikkhu memberikan penjelasan dengan berbagai alasan yang menunjukkan
bahwa karma bukanlah nasib atau takdir yang sudah menjadi ketetapan dan tidak
dapat diubah. Misalnya, menunjukkan bahwa karma bukanlah satu-satunya sebab
yang menyebabkan segala sesuatu terjadi di dunia ini. Karma hanyalah salah satu
dari lima hukum alam (niyāma) yang menyebabkan segala sesuatu terjadi di dunia
ini. Bhikkhu menunjukkan bahwa karma bukanlah nasib atau takdir yang
mengatur segala sesuatu yang terjadi di dunia ini.
Bhikkhu memberikan pemahaman yang benar terhadap ajaran karma
kepada umat Buddha melalui ceramah yang dilakukan di vihāra. Ceramah
tersebut dapat diberikan pada saat kegiatan-kegiatan, seperti perayaan hari raya
agama Buddha, workshop, seminar, dan sekolah minggu. Bhikkhu dapat
memberikan ceramah yang berkenaan dengan pemahaman ajaran karma pada
waktu perayaan hari besar agama Buddha, seperti Waisak, Kathina, Asadha, dan
Maghapuja. Kegiatan workshop dan seminar dapat digunakan oleh bhikkhu untuk
memberikan ceramah dan membahas pemahaman benar terhadap ajaran karma.
Kegiatan sekolah minggu juga dapat digunakan oleh bhikkhu untuk memberikan
ceramah yang berkenaan dengan pemahaman benar terhadap ajaran karma kepada
umat Buddha terutama anak-anak pada usia sekolah. Selain dengan cara
memberikan ceramah, bhikkhu juga dapat memberikan pemahaman yang benar
terhadap ajaran karma melalui diskusi dan tanya jawab. Bhikkhu mengajak umat
Buddha untuk membahas ajaran Buddha khususnya ajaran karma serta
mengadakan tanya jawab.
Media elektronik dapat digunakan oleh bhikkhu dalam melakukan ceramah
tentang pemahaman yang benar terhadap ajaran karma. Media elektronik tersebut
adalah televisi, radio, internet, kaset, dan VCD/DVD. Bhikkhu dapat memberikan
ceramah melalui televisi dan radio (acara mimbar agama Buddha) yang dapat
dilihat dan didengarkan oleh umat Buddha. Ajaran karma dapat dimasukkan
dalam internet agar umat Buddha mendapatkan informasi dan pengetahuan
tentang pemahaman benar terhadap ajaran karma. Ceramah yang dilakukan oleh
bhikkhu yang berkenaan dengan pemahaman ajaran karma dapat direkam dalam
kaset dan dijadikan VCD/DVD. Selain melalui media elektronik, bhikkhu dapat
memberikan pemahaman benar tentang ajaran karma melalui media buku dan
majalah. Dengan cara tersebut, umat Buddha akan mempunyai pemahaman yang
benar terhadap ajaran karma dan mengubah pola pikir negatif yang dimilikinya.
Peran guru agama Buddha sangat diperlukan dalam mengubah pola pikir
negatif yang dimiliki oleh umat Buddha. Guru agama Buddha yang sudah banyak
memahami ajaran Buddha atau Dhamma dengan benar diharapkan dapat
membantu umat Buddha memberikan pemahaman yang benar terhadap ajaran
karma. Peran guru agama Buddha ditujukan pada umat Buddha yang masih duduk
di bangku sekolah dan juga umat Buddha yang sudah tidak bersekolah. Umat
Buddha yang masih duduk di bangku sekolah, umumnya adalah umat Buddha
yang masih anak-anak dan remaja, yaitu siswa SD, SMP, dan SMA. Pada waktu
sekolah, guru agama memberikan mata pelajaran pendidikan agama Buddha
kepada anak didiknya yang beragama Buddha. Guru agama memberikan materi
pelajaran yang memuat pelajaran tentang hukum karma. Guru agama diharapkan
memberikan ajaran karma sejak bangku sekolah agar anak didiknya memiliki
pemahaman yang benar terhadap ajaran karma. Dengan memiliki pemahaman
yang benar terhadap ajaran karma, maka anak didiknya tidak akan memiliki
pemahaman yang salah terhadap ajaran karma yang mengakibatkan pola pikir
negatif.
Guru agama memberikan teladan yang baik kepada anak didiknya dengan
melakukan perbuatan yang tidak menyerah pada takdir atau nasib. Misalnya guru
tersebut menceritakan kehidupannya bahwa meskipun berasal dari keluarga tidak
mampu (miskin) tetapi dapat bersekolah dan kuliah sehingga menjadi guru.
Dengan usaha dan kerja kerasnya, ia dapat membiayai sekolah dan kuliahnya
sendiri. Guru tersebut mengatakan kepada anak didiknya bahwa terlahir dalam
keluarga miskin bukan karena takdir atau nasib yang tidak dapat diubah. Guru
tersebut menjadi keluarga yang mampu (kaya) berkat kerja keras dan
ketekunannya. Guru agama memberikan pengertian bahwa seseorang dapat
mengubah kehidupannya yang awalnya orang tidak mampu (miskin) dapat
menjadi orang yang mampu (kaya). Dengan cara tersebut, guru agama dapat
memberikan teladan yang baik yang dapat dicontoh oleh anak didiknya. Guru
tersebut juga dapat memberikan contoh pada anak didiknya bahwa anak yang
kurang pandai dapat menjadi anak yang pandai dengan usaha yang keras dan
tekun belajar. Anak yang kurang pandai bukan karena takdir atau nasib yang tidak
diubah.
Guru agama Buddha membantu untuk mengubah pola pikir negatif umat
Buddha yang sudah tidak bersekolah (pemuda dan orang dewasa) dengan
memberikan pemahaman benar terhadap ajaran karma. Peran guru agama Buddha
sama seperti yang dilakukan oleh bhikkhu. Guru agama Buddha memberikan
pemahaman benar terhadap ajaran karma melalui ceramah, diskusi, dan tanya
jawab kepada umat Buddha.
Selain peran bhikkhu dan guru agama Buddha, peran pandita, mahasiswa,
dan sarjana Buddhis juga diperlukan untuk membantu mengubah pola pikir
negatif dari masyarakat Buddhis. Peran mereka adalah seperti apa yang dilakukan
oleh bhikkhu dan guru agama Buddha, yaitu memberikan penjelasan bahwa karma
bukanlah ajaran yang mengarah pada deterministik dan fatalistik. Mereka
memberikan pemahaman yang benar terhadap ajaran karma dengan menunjukkan
alasan mengapa karma bukan nasib atau takdir yang tidak dapat diubah.
Dhammaduta memberikan penjelasan yang benar tentang ajaran karma
kepada umat Buddha agar mempunyai pemahaman yang benar terhadap ajaran
karma. Dengan mempunyai pemahaman yang benar terhadap ajaran karma, maka
umat Buddha tidak akan memiliki pola pikir negatif yang disebabkan oleh
pemahaman salah terhadap ajaran karma. Dhammaduta memberikan pengertian
benar terhadap ajaran karma bukan hanya melalui ceramah di vihāra saja, tetapi
dapat juga melalui diskusi yang membahas tentang ajaran karma.
Dhammaduta membantu untuk mengubah pola pikir negatif dari umat
Buddha dengan memberikan pemahaman yang benar terhadap ajaran karma
bahwa karma bukan satu-satunya sebab yang menyebabkan kebahagiaan dan
penderitaan bagi semua makhluk. Thittila (1996: 133) menjelaskan bahwa karma
bukan ajaran yang mengajarkan doktrin tentang takdir karena karma hanyalah
salah satu bagian dari lima hukum alam (niyāma) dan bagian dari dua puluh empat
kondisi atau keadaan yang menimbulkan sebab (paccaya). Kehidupan semua
makhluk seluruhnya bukan ditentukan oleh karma. Apabila kehidupan manusia
ditentukan oleh karma, maka seseorang tidak memiliki kesempatan untuk berbuat
sesuai dengan keinginannya karena segala sesuatu telah diatur atau ditentukan
sebelumnya. Kehidupan manusia bukan seluruhnya ditentukan oleh karma karena
adanya kemauan bebas (freewill). Karma juga bukan merupakan takdir atau nasib
karena karma dapat diubah. Keadaan atau kekuatan tertentu dapat mempengaruhi
bekerjanya karma.
B. Pemahaman Benar terhadap Ajaran Karma
1. Hukum Karma Bagian dari Lima Hukum Niyāma
Segala sesuatu yang ada di dunia ini tergantung atau dikondisikan oleh
hukum alam. Hukum alam inilah yang bekerja dalam mengatur alam semesta.
Hukum alam merupakan hukum alamiah yang bekerja dengan sendirinya tanpa
adanya campur tangan pengatur eksternal. Hukum alam ini bekerja berdasarkan
hukum sebab akibat atau hukum sebab musabab yang saling bergantungan dari
segala sesuatu. Payutto (1993: 1) menjelaskan bahwa: “That all things, both
material and immaterial, are entirely subject to the direction of causes, and are
interdependent. This natural course of things is called in common term ‘the law of
nature’, and in Pāli ‘niyāma’”. Segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak dapat
berdiri sendiri, saling bergantungan, dan tidak terlepas dari hukum sebab akibat.
Hal tersebut yang memunculkan suatu hukum yang disebut sebagai hukum alam.
Kirthisinghe (1999: 80), menjelaskan bahwa kebahagiaan dan penderitaan
yang dialami oleh semua makhluk hidup bukanlah suatu nasib atau takdir.
Kebahagiaan dan penderitaan bukanlah suatu hadiah atau hukuman, yang
diberikan oleh Tuhan karena telah melakukan perbuatan baik maupun tidak baik.
Agama Buddha mempercayai hukum alam, yang dinamai hukum 'sebab dan
akibat', yang umum berlaku pada semua gejala alam. Hukum alam inilah yang
menyebabkan segala sesuatu terjadi di dunia ini termasuk kebahagiaan dan
penderitaan yang dialami oleh suatu makhluk. Hukum alam (niyāma) terdiri dari
lima hukum (Dīgha Nikāya Atthakatha II dalam Mukti, 2003: 133), yaitu:
a. Utu Niyāma
Utu niyāma merupakan hukum alam yang mengkondisikan atau
menyebabkan perubahan iklim, seperti gejala timbulnya angin dan hujan serta
bergantinya musim. Gejala timbulnya angin yang dapat menjadi angin topan,
angin puting beliung, dan juga badai disebabkan oleh utu niyāma. Timbulnya
hujan juga disebabkan oleh utu niyāma. Perubahan atau bergantinya musim, yaitu
musim semi, panas, gugur, dan dingin disebabkan oleh utu niyāma. Menurut
Payutto (1993: 1), utu niyāma juga mengatur fenomena alam seperti cara atau
bagaimana mekarnya bunga pada siang hari dan mingkup pada malam hari; cara
tanah, air, dan mineral membantu tanaman untuk tumbuh; cara segala sesuatu
hancur dan membusuk.
Selain mengatur perubahan iklim dan fenomena alam, utu niyāma juga
menyebabkan terbentuk serta hancurnya bumi dan tata surya; pertumbuhan
manusia, binatang, dan pohon; dan menyebabkan gempa bumi dan gunung
meletus (Wowor, 2004: 4). Utu niyāma mengkondisikan atau menyebabkan
proses terbentuk dan hancurnya bumi dan tata surya. Pertumbuhan manusia,
binatang, dan tanaman dikondisikan atau disebabkan oleh utu niyāma. Fenomena
alam seperti terjadinya gempa bumi dan gunung meletus juga dikondisikan atau
disebabkan oleh utu niyāma.
b. Bija Niyāma
Bija niyāma merupakan hukum alam yang mengkondisikan atau mengatur
keturunan dari tumbuhan. Keturunan dari tumbuhan yang dimaksud adalah dari
benih menjadi buah, misalnya benih atau biji semangka tumbuh menjadi buah
semangka. Hukum alam ini juga mengatur asal usul dari sesuatu yang
berhubungan dengan tumbuhan, contohnya rasa manis berasal dari tebu dan rasa
pedas berasal dari cabai atau lada. Menurut Narada (1988: 345), teori ilmiah
tentang sel dan plasma pembawa sifat keturunan serta kesamaan jasmani pada
anak kembar dikondisikan atau disebabkan oleh bija niyāma. Pembawa sifat
keturunan yang berasal dari sel dan plasma disebabkan oleh bija niyāma.
Demikian pula dengan kesamaan jasmani yang terjadi pada anak kembar juga
disebabkan atau dikondisikan oleh bija niyāma. Pertumbuhan stek batang dan
pucuk daun dapat bertunas dan tumbuh juga disebabkan oleh bija niyāma
(Wowor, 2004: 4). Pertumbuhan tanaman yang awalnya berasal dari stek batang
dan tunas yang dapat tumbuh menjadi tanaman atau pohon yang besar disebabkan
oleh bija niyāma.
c. Citta Niyāma
Citta niyāma merupakan hukum alam yang mengatur segala sesuatu yang
berhubungan dengan pikiran, seperti proses dari kesadaran atau pikiran, sifat
pikiran, dan kekuatan batin (abhinna). Proses kesadaran atau pikiran dan sifat dari
pikiran disebabkan atau dikondisikan oleh citta niyāma. Proses kesadaran atau
pikiran adalah proses berpikir dari seseorang. Menurut Kaharuddin (2005: 8) sifat
pikiran yang dimaksud adalah timbul dan tenggelam proses kesadaran atau
pikiran. Contohnya pada saat pikiran jahat, yaitu kebencian muncul dalam diri
seseorang, kemudian selang beberapa saat pikiran jahat tersebut akan hilang atau
tenggelam dan muncul pikiran baik maupun jahat yang lain, misalnya cinta kasih
dan keserakahan. Hal tersebut menunjukkan sifat dari pikiran atau kesadaran.
Kekuatan batin (abhinna) juga dikondisikan atau disebabkan oleh citta niyāma.
Kekuatan batin ini terdiri dari enam jenis, yaitu kekuatan atau kemampuan batin
fisik, seperti mengubah tubuh sendiri menjadi banyak, kemampuan menembus
dinding, dan kemampuan terbang di angkasa (iddhividhi-ñāna); kemampuan
melihat makhluk-makhluk di alam lain atau disebut sebagai mata dewa
(dibbacakkhu-ñāna); kemampuan mendengar suara makhluk-makhluk di alam
lain atau disebut sebagai telinga dewa (dibbasota-ñāna); kemampuan mengingat
kehidupan yang lampau (pubbenivasanussati-ñāna); kemampuan membaca
pikiran orang lain atau makhluk lain (cetopariya-ñāna); dan kemampuan untuk
menghilangkan kekotoran batin (asavakkhaya-ñāna). Enam macam kemampuan
atau kekuatan batin tersebut dikatakan oleh Buddha dalam Aṅguttara Nikāya III
(Hare, 2001: 202-203):
Monks, herein a monk experiences psychic power in manifold modes...;
with the deva-ear hears sounds...; by mind compassing mind knows others
thoughts...; remembers previous lives...; with the deva-eye sees beings
faring on according to their deeds...; by destroying the cankers enters and
abides in the canker-free mind-emancipation, insight-emancipation,
realizing this here and now entirely by his own knowledge.
Thittila (1996: 135) menjelaskan bahwa telepati, telestesia (kepekaan),
pertanda, kewaskitaan, dan semua fenomena mental yang tidak dapat dijelaskan
oleh ilmu pengetahuan modern disebabkan atau dikondisikan oleh citta niyāma.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 1162) dijelaskan bahwa telepati
adalah daya seseorang untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain yang jauh
jaraknya, atau dapat menangkap apa yang ada di benak orang lain tanpa
mempergunakan alat-alat yang dapat dilihat, sedangkan telestesia adalah kepekaan
terhadap peristiwa yang terjadi di kejauhan. Kewaskitaan adalah kewaspadaan
atau ketajaman penglihatan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 1270) juga
disebabkan atau dikondisikan oleh citta niyāma. Dapat disimpulkan bahwa segala
sesuatu yang berhubungan dengan pikiran atau kesadaran disebabkan atau
dikondisikan oleh citta niyāma.
d. Kamma Niyāma
Kamma niyāma merupakan hukum yang mengatur tingkah laku atau
perbuatan manusia, yaitu proses perbuatan (kamma) yang akan menimbulkan
akibat atau hasil (vipāka). Kamma niyāma ini bekerja khususnya berhubungan
dengan kehendak atau niat (cetanā), karena tanpa adanya kehendak suatu
perbuatan tidak dapat disebut sebagai karma. Hukum alam ini mengatur sebab dan
akibat dari perbuatan, yaitu perbuatan baik memberikan hasil yang baik,
sedangkan perbuatan buruk memberikan hasil yang buruk. Segala sesuatu yang
berhubungan dengan perbuatan seseorang maupun makhluk lain disebabkan atau
dikondisikan oleh kamma niyāma.
e. Dhamma Niyāma
Dhamma niyāma merupakan hukum alam yang mengatur gejala khusus
yang tidak termasuk dalam empat hukum alam di atas. Wowor (2004: 4)
memberikan contoh gejala khusus yang masuk dalam dhamma niyāma adalah
gempa bumi yang terjadi pada saat kelahiran Buddha. Gempa bumi ini bukan
dikondisikan atau disebabkan oleh utu niyāma, tetapi disebabkan oleh dhamma
niyāma karena gejala timbulnya gempa bumi tersebut merupakan hal yang luar
biasa. Dalam Mahāparinibbāna Sutta, Dīgha Nikāya II (Davids, 2002: 114-117),
Buddha menjelaskan ada delapan sebab gempa bumi, yaitu pergeseran lapisan
bumi; seorang petapa atau orang suci yang mempunyai kekuatan untuk
mengembangkan pemusatan pikirannya terhadap sifat yang terbatas dari unsur
tanah dan unsur cair; ketika Bodhisatta pergi dari surga Tusita dan masuk ke
rahim ibunya; ketika Bodhisatta terlahir ke dunia; ketika Tathāgata mencapai
penerangan sempurna; ketika Tathāgata mengajarkan Dhamma untuk pertama
kalinya; ketika Tathāgata mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya; dan
ketika Tathāgata mencapai parinibbāna. Penyebab gempa yang pertama, yaitu
karena lapisan bumi merupakan penyebab yang umum terjadinya suatu gempa dan
disebabkan atau dikondisikan oleh utu niyāma. Penyebab gempa yang lain, selain
karena pergeseran lapisan bumi merupakan suatu penyebab gempa bumi yang luar
biasa dan disebabkan atau dikondisikan oleh dhamma niyāma.
Menurut Kaharuddin (2004: 190), hukum gravitasi termasuk dalam
dhamma niyāma. Gravitasi adalah kekuatan (gaya) tarik bumi; proses gaya tarik
bumi; atau gaya berat suatu benda (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 371).
Contoh dari adanya gaya gravitasi bumi adalah bila seseorang melempar batu ke
atas, maka batu tersebut akan jatuh ke tanah. Hal tersebut membuktikan bahwa
adanya gaya gravitasi bumi.
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini dikondisikan atau disebabkan oleh
lima hukum alam (niyāma). Segala fenomena fisik dan mental dapat dijelaskan
oleh hukum alam. Dalam agama Buddha, segala sesuatu terjadi bukan karena
ciptaan Tuhan atau para dewa tetapi karena sebab akibat atau lebih tepatnya
karena hukum alam (niyāma). Hukum kamma hanyalah bagian dari salah satu
hukum alam yang bekerja di dunia ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa karma
bukanlah satu-satunya sebab yang menimbulkan segala sesuatu yang ada di dunia
ini yang mengarah pada pandangan deterministik dan fatalistik. Kebahagiaan dan
penderitaan yang dialami oleh seseorang bukan hanya disebabkan atau
dikondisikan oleh hukum karma saja, tetapi juga dikondisikan oleh hukum alam
yang lain, misalnya utu niyāma. Sebagai contoh, pada kasus seseorang yang
terkena musibah gempa bumi sehingga mengakibatkan rumah dan harta bendanya
hancur. Hal tersebut menyebabkan seseorang tersebut mengalami penderitaan.
Penderitaan yang dialami oleh orang tersebut bukan hanya disebabkan atau
dikondisikan oleh hukum karma saja, tetapi juga disebabkan oleh hukum alam
yang lain, yaitu utu niyāma.
2. Karma Bagian dari 24 Paccaya
Karma merupakan salah satu bagian dari paccaya (kondisi). Paccaya ini
merupakan faktor penopang untuk munculnya hal-hal yang terkondisi. Paccaya
adalah kondisi, syarat, sebab, ketergantungan, sesuatu yang menyebabkan lainnya,
bergantung padanya untuk timbul (Kompilasi Istilah Buddhis, 2005: 81). Paccaya
merupakan kondisi atau syarat dari segala sesuatu yang bersifat saling
bergantungan. Menurut Nyanatiloka, “paccaya is ’condition’, is something on
which something else, the so-called ’condition thing’, is dependent, and without
which the latter cannot be” (http://www.buddhanet.net/ebooks_s.htm). Paccaya
disebut sebagai kondisi yang mendukung segala sesuatu yang bersifat sebab
akibat dan saling bergantungan. Dua puluh empat paccaya ini terdapat dalam
kitab suci Paṭṭhāna, Abhidhamma Piṭaka (Narada, 1997: 1-12). Paccaya terdiri
dari 24 keadaan atau kondisi, yaitu:
a. Hetu paccaya (keadaan sebab atau akar)
Hetu paccaya merupakan kondisi sebab atau akar yang menyebabkan
timbulnya pikiran atau kesadaran (citta) dan bentuk bentuk batin (cetasika).
Kondisi sebab sering disebut sebagai akar (mula). Menurut Nyanatiloka, kondisi
sebab diibaratkan sebagai akar dari sebuah pohon. Akar tersebut yang membuat
pohon tetap hidup selama tidak hancur. Demikian pula dengan hetu paccaya
sebagai akar dari perbuatan (karma) yang dilakukan oleh seseorang
(http://www.palikanon.com/english/wtb/n_r/paccaya.htm). Segala bentuk
perbuatan (karma) tergantung pada hetu paccaya. Kondisi sebab (hetu paccaya)
merupakan akar dari perbuatan baik dan perbuatan tidak baik, yaitu keserakahan
(lobha), kebencian (dosa), kebodohan batin atau kegelapan batin (moha), tanpa
keserakahan (alobha), tanpa kebencian (adosa), dan tanpa kebodohan batin
(amoha).
b. Āramana paccaya (keadaan objek)
Āramana paccaya merupakan kondisi atau keadaan objek yang
menyebabkan timbulnya pikiran atau kesadaran (citta) dan bentuk-bentuk batin
(cetasika). Objek yang dimaksud adalah objek bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan,
dan kesan-kesan batin. Kondisi objek ini akan menimbulkan atau mengkondisikan
kesadaran dan bentuk-bentuk batin atau pikiran. Sebagai contoh objek bentuk,
yaitu warna dan cahaya akan mengkondisikan kesadaran mata atau kesadaran
melihat.
c. Adhipati paccaya (keadaan ulung atau unggul)
Adhipati paccaya merupakan keadaan atau kondisi ulung yang dapat
menyebabkan timbulnya pikiran atau kesadaran (citta) dan bentuk-bentuk batin
(cetasika). Keadaan atau kondisi ulung ini terdiri dari empat jenis, yaitu keinginan
(chanda), usaha atau kekuatan (viriya), kesadaran atau pikiran (citta), dan
penyelidikan (vīmamsā).
d. Anantara paccaya (keadaan bersambungan/prioritas)
Anantara paccaya merupakan kondisi atau keadaan yang timbul
bersambungan atau berhubungan secara rapat dan tidak ada jarak. Rapat dan tidak
ada jarak merujuk kepada proses kesadaran atau pikiran. Misalnya, dalam proses
melihat, mata segera atau langsung melihat objek bentuk dan melaksanakan fungsi
menerima objek yang terlihat. Hal tersebut terjadi secara rapat dan tidak ada jarak.
e. Samanantara paccaya (keadaan terus-menerus)
Samanantara paccaya merupakan keadaan atau kondisi yang timbul
secara terus-menerus, bersambungan, dan tidak ada jarak. Keadaan ini hampir
sama dengan keadaan rapat, tetapi bedanya adalah amanantara paccaya
prosesnya terjadi secara terus-menerus, sedangkan anantara paccaya prosesnya
terjadi pada waktu tertentu.
f. Sahajāta paccaya (keadaan bersama)
Sahajāta paccaya merupakan keadaan atau kondisi yang muncul secara
bersama dan bergabung. Sebagai contoh, salah satu dari nāma khanda muncul,
yaitu vedanā (perasaan), maka akan menimbulkan nāma khanda yang lain untuk
muncul, yaitu saññā (pencerapan), saṅkhāra (bentuk-bentuk pikiran), dan viññāna
(kesadaran).
g. Aññamañña paccaya (keadaan silih berganti)
Aññamañña paccaya merupakan keadaan atau kondisi yang muncul silih
berganti. Misalnya, ketika mata melihat objek bentuk, maka muncul kesadaran
melihat (cakkhu-viññāna). Setelah muncul kesadaran melihat, maka akan muncul
pencerapan (saññā). Setelah pencerapan (saññā), maka akan muncul perasaan
(vedanā). Hal tersebut menunjukkan keadaan silih berganti.
h. Nissaya paccaya (keadaan pendukung)
Nissaya paccaya merupakan keadaan atau kondisi pendukung dari kondisi
yang lain. Kondisi ini mendukung dan membantu fenomena yang lain untuk
muncul. Nissaya paccaya diibaratkan bumi sebagai dasar pohon untuk hidup, atau
kanvas sebagai dasar atau tempat minyak untuk melukis.
i. Upanissaya paccaya (keadaan pendorong)
Upanissaya paccaya merupakan keadaan atau kondisi yang mendorong
dengan kuat. Keadaan ini terdiri dari tiga macam keadaan, yaitu keadaan objek
yang mendorong dengan kuat (aramanupanissaya paccaya), keadaan
bersambungan/prioritas yang mendorong dengan kuat (anantarupanissaya
paccaya), dan keadaan alami yang mendorong dengan kuat (pakatupanissaya
paccaya). Keadaan-keadaan ini akan menimbulkan perbuatan karena dorongan
dan alasan yang kuat. Sebagai contoh, keadaan objek (makanan) mendorong
dengan kuat muncul, maka seseorang akan melakukan perbuatan atau tindakan
untuk berusaha mendapatkan makanan tersebut.
j. Purejāta paccaya (keadaan dahulu)
Purejāta paccaya merupakan keadaan atau kondisi yang lebih dulu
muncul dan membantu keadaan yang muncul belakangan. Sebagai contoh, enam
organ indera manusia (mata, telinga, hidung, lidah, kulit, dan batin) telah muncul
pada saat manusia terlahir dan membantu pikiran atau kesadaran (citta) dan
bentuk bentuk batin (cetasika) untuk muncul atau timbul.
k. Pacchājāta paccaya (keadaan belakangan)
Pacchājāta paccaya merupakan keadaan yang muncul belakangan.
Keadaan ini menimbulkan pikiran atau kesadaran (citta) dan bentuk-bentuk batin
(cetasika) untuk muncul atau timbul. Kondisi ini penting untuk memelihara atau
menjaga tubuh yang telah muncul.
l. Āsevana paccaya (keadaan ulangan)
Āsevana paccaya merupakan keadaan atau kondisi yang muncul secara
berulang-ulang. Keadaan ini muncul karena dilakukan secara berulang-ulang.
Seperti belajar yang dilakukan secara berulang-ulang maka akan menjadi lebih
mudah.
m. Kamma paccaya (keadaan perbuatan)
Kamma paccaya merupakan keadaan atau kondisi perbuatan yang akan
menyebabkan akibat karma. Kondisi perbuatan ini pada dasarnya adalah niat atau
kehendak (cetanā).
n. Vipāka paccaya (keadaan akibat)
Vipāka paccaya merupakan keadaan atau kondisi akibat kamma. Kondisi
akibat ini disebabkan atau dikondisikan oleh kamma.
o. Āhāra paccaya (keadaan makanan)
Āhāra paccaya merupakan keadaan atau kondisi makanan yang menjadi
sebab menimbulkan nāma dan rūpa. Ada empat macam makanan, yaitu makanan
biasa, seperti nasi dan roti (kabalikāhara); kontak enam indera dengan objek
(phassāhāra); kehendak batin yang menimbulkan perkataan dan perbuatan
(manosancetanāhāra); dan kesadaran (viññanāhāra).
p. Indriya paccaya (keadaan bakat)
Indriya paccaya merupakan keadaan atau kondisi bakat untuk
menimbulkan nāma dan rūpa. Indriya adalah indera, pembawaan, atau kecakapan
(Kompilasi Istilah Buddhis, 2005: 47). Indriya paccaya ini hanya terdiri dari dua
puluh jenis, dua jenis indriya yang lain, yaitu indera kelamin betina (itthindriya)
dan jantan (purisindriya). Dua puluh indriya lain yang masuk dalam indriya
paccaya, yaitu indera mata (cakkhundriya), indera telinga (sotindriya), indera
hidung (ghānindriya), indera lidah (jivhindriya), indera jasmani (kāyindriya),
indera batin (manindriya), indera kehidupan (jivitindriya), indera rasa senang dari
jasmani (sukhindriya), indera rasa tidak senang dari jasmani (dukkhindriya),
indera rasa senang dari batin (somanassindriya), indera rasa tidak senang dari
batin (domanassindriya), indera perasaan seimbang (upekkhindriya), indera
keyakinan (saddhindriya), indera usaha (viriyindriya), indera kesadaran
(satindriya), indera konsentrasi (samādhindriya), indera kebijaksanaan
(paññindriya), indera bakat kejiwaan (anaññataññassāmitindriya), indera bakat
kejiwaan yang mencapai pencerahan (aññindriya), dan indera bakat kejiwaan
yang mengetahui keadaan semua makhluk dan alam semesta (aññatāvindriya).
q. Jhāna paccaya (keadaan jhāna)
Jhāna paccaya merupakan keadaan jhāna yang terdiri dari tujuh faktor
jhāna, yaitu vitakka (perenungan permulaan), vicāra (perenungan penopang), pīti
(kegiuran), sukha (kebahagiaan), domanassa (kesedihan), upekkha (keseimbangan
batin), dan samādhi (konsentrasi).
r. Magga paccaya (keadaan jalan)
Magga paccaya merupakan keadaan atau kondisi jalan baik maupun tidak
baik yang menjadi sebab untuk tumimbal lahir di alam-alam kehidupan dan
pencapaian nibbāna. Keadaan jalan ini merupakan suatu perbuatan (kamma) baik
maupun tidak baik. Keadaan jalan ini, yaitu paññā (kebijaksanaan) atau sammā
diṭṭhi (pandangan benar); vittakka (konsepsi pikiran yang benar maupun salah);
sammā vaca (ucapan benar); sammā kammanta (perbuatan benar); sammā ājiva
(penghidupan atau mata pencaharian benar); viriya (usaha yang benar maupun
salah); sati (perhatian benar maupun salah); samādhi (konsentrasi benar maupun
salah); micchā diṭṭhi (pandangan salah); micchā vaca (ucapan salah), micchā
kammanta (perbuatan salah); dan micchā ājiva (penghidupan salah).
s. Sampayutta paccaya (keadaan penggabungan)
Sampayutta paccaya merupakan keadaan penggabungan. Keadaan
penggabungan yang dimaksud adalah saññā (pencerapan), saṅkhāra (bentukbentuk
pikiran), dan viññāna (kesadaran) bersama-sama bergabung menjadi batin
(nāma). Keempatnya muncul dan berhenti secara bersama-sama. Keadaan ini
terdiri dari sahajāta paccaya (keadaan atau kondisi bersama) dan aññamañña
paccaya (keadaan silih berganti) dari batin (nāma).
t. Vippayutta paccaya (keadaan perceraian)
Vippayutta paccaya merupakan keadaan atau kondisi perceraian atau
berpisahnya nāma (batin) dan rūpa (jasmani). Keadaan perceraian atau berpisah
ini terjadi pada saat suatu makhluk meninggal dunia, batin (nāma) akan berpisah
dengan jasmani (rūpa).
u. Atthi paccaya (keadaan keberadaan atau kehadiran)
Atthi paccaya merupakan kondisi atau keadaan yang memerlukan
keberadaan atau kehadiran kondisi lain. Sahajāta paccaya (keadaan atau kondisi
bersama), aññamañña paccaya (keadaan silih berganti), nissaya paccaya
(keadaan atau kondisi pendukung), purejāta paccaya (keadaan dulu), dan
pacchājāta paccaya (keadaan belakangan) masuk dalam kondisi ini.
v. Natthi paccaya (keadaan tidak hadiran)
Natthi paccaya merupakan keadaan atau kondisi ketidak-hadiran yang
menyebabkan berhentinya hubungan antara kesadaran atau pikiran (citta) dan
bentuk-bentuk batin (cetasika).
w. Vigata paccaya (keadaan kelenyapan)
Vigata paccaya merupakan keadaan atau kondisi kelenyapan yang
menyebabkan berhentinya hubungan antara kesadaran atau pikiran (citta) dan
bentuk-bentuk batin (cetasika).
x. Avigata paccaya (keadaan tidak lenyap)
Avigata paccaya merupakan keadaan atau kondisi ketidak-lenyapan yang
menyebabkan timbulnya nāma dan rūpa.
Paccaya merupakan kondisi yang mendukung hukum sebab musabab yang
saling bergantungan (paṭiccasamuppāda). Sebagai contoh, salah satu faktor dari
12 nidāna, yaitu nāma dan rūpa (batin dan jasmani) dikondisikan oleh 16 paccaya
(Kaharuddin, 2005: 484). Enam belas paccaya tersebut, yaitu hetu paccaya
(kondisi atau keadaan sebab), sahajāta paccaya (kondisi atau keadaan bersama),
aññamañña paccaya (kondisi atau keadaan silih berganti), nissaya paccaya
(kondisi atau keadaan pendukung), purejāta paccaya (kondisi ataui keadaan dulu),
pacchājāta paccaya (kondisi atau keadaan belakangan), kamma paccaya (kondisi
atau keadaan perbuatan), vipāka paccaya (kondisi atau keadaan sebab), āhāra
paccaya (kondisi atau keadaan makanan), indriya paccaya (kondisi atau keadaan
bakat), jhāna paccaya (kondisi atau keadaan jhāna), magga paccaya (kondisi atau
keadaan jalan), sampayutta paccaya (kondisi atau keadaan penggabungan),
vippayutta paccaya (kondisi atau keadaan perceraian), atthi paccaya (kondisi atau
keadaan keberadaan atau kehadiran), dan avigata paccaya (kondisi atau keadaan
tidak lenyap).
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa karma hanyalah salah satu
kondisi atau keadaan (paccaya) yang mendukung dari sesuatu yang berkondisi.
Karma hanyalah salah satu kondisi yang mendukung atau menyebabkan nāma dan
rūpa (batin dan jasmani). Hal tersebut menunjukkan bahwa karma bukanlah satusatunya
sebab yang menimbulkan segala sesuatu, sehingga karma bukanlah
bersifat deterministik dan fatalistik.
3. Karma dan Kehendak Bebas (freewill)
Kehidupan manusia tidak ditentukan atau ditetapkan oleh suatu kekuatan
eksternal yang dapat menjadi takdir atau nasib. Apabila segala sesuatu yang
berhubungan dengan manusia ditentukan atau ditetapkan sebelumnya, maka tidak
ada suatu kehendak atau keinginan bebas (freewill) yang dilakukan oleh manusia.
Menurut Dhammika, “Freewill is the ability of the individual to freely choose,
without any extraneous influences, what course of action he or she will take”
(http://buddhismatoz.com). Kehendak, kemauan atau keinginan bebas (freewill)
merupakan suatu kemampuan seseorang untuk bebas memilih untuk melakukan
suatu perbuatan.
Keinginan bebas disini bukan mengarah pada lobha (nafsu keinginan),
tetapi mengarah pada segala kehendak yang muncul dalam diri manusia. Menurut
Nanayakkara (Tanpa tahun: 279), kata “will” dalam kata freewill mengarah pada
cetanā (niat atau kehendak). Kehendak (cetanā) merupakan aspek yang terpenting
bagi berlakunya perbuatan (karma) dari seseorang. Tanpa adanya kehendak, suatu
perbuatan tidak dapat disebut sebagai karma. Keinginan bebas (freewill) adalah
sama dengan kehendak bebas, sehingga keinginan bebas ini merupakan suatu
perbuatan yang dilakukan dengan bebas oleh seseorang.
Kehendak (cetanā) merupakan sesuatu yang kondisional. Faktor yang
mengkondisikan kehendak adalah keserakahan (lobha), kebencian (dosa),
kebodohan batin (moha), tanpa keserakahan (alobha), tanpa kebencian (adosa),
dan tanpa kebodohan batin (amoha). Faktor yang mengkondisikan kehendak
tersebut adalah sama dengan tiga akar penyebab perbuatan baik dan tiga akar
penyebab perbuatan tidak baik atau buruk, karena kehendak (cetanā) adalah
karma itu sendiri. Faktor tersebut mempengaruhi seseorang untuk menentukan
pilihan dalam berbuat. Seseorang melakukan perbuatan (karma) karena
dikondisikan atau disebabkan oleh enam faktor tersebut dan bukan karena nasib
atau takdir yang telah ditentukan. Apabila kehendak atau perbuatan (karma) yang
dilakukan oleh seseorang sudah ditentukan oleh takdir atau nasib, maka akan
membuat tidak berlakunya hukum karma. Semua yang dilakukan oleh seseorang
tidak ada artinya dan tidak ada gunanya karena segalanya telah diatur sebelumnya.
Story (Tanpa tahun: 52) menjelaskan bahwa agama Buddha tidak
menyangkal bahwa manusia sebagian besar dikondisikan oleh keadaan dan
lingkungannya, tetapi pengondisian tersebut tidak bersifat mutlak. Demikian pula
dengan karma juga dikondisikan oleh keadaan, yaitu keserakahan (lobha),
kebencian (dosa), kebodohan batin (moha), tanpa keserakahan (alobha), tanpa
kebencian (adosa), dan tanpa kebodohan batin (amoha). Pengondisian memang
dapat memuncak pada determinisme, tetapi kemauan bebas (freewill) masih ada.
Walaupun kemauan atau keinginan banyak dimodifikasi atau dipengaruhi oleh
kondisi atau penyebab tersebut, namun kemauan atau keinginan itu sendiri tetap
saja bebas memilih. Seseorang bebas memilih kondisi atau penyebab yang akan
menentukan tindakannya. Seseorang melakukan perbuatan karena keinginan dan
kemauannya sendiri.
Thitilla (Tanpa tahun: 142) menjelaskan bahwa seseorang menjadi baik
maupun tidak baik bukan karena takdir atau nasib yang telah ditentukan. Sifat atau
karakter manusia sangat lentur dan dapat berubah pada situasi tertentu. Orang baik
tidak selalu menjadi orang baik, demikian juga dengan orang jahat tidak selalu
menjadi orang jahat. Seseorang pada saat tertentu dapat berubah menjadi orang
yang lebih baik atau lebih buruk. Seseorang tidak mutlak selalu melakukan
perbuatan tidak baik terus-menerus, tetapi juga dapat melakukan perbuatan tidak
baik. Orang jahat dapat menjadi baik tergantung usaha yang dilakukannya.
Misalnya, seorang pencuri dapat menjadi orang yang baik dengan berusaha untuk
tidak melakukan pencurian lagi. Seorang pencuri tersebut menjadi pencuri bukan
karena takdir atau nasib tetapi karena dikondisikan oleh hal-hal yang tidak baik
seperti keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha).
Segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak semuanya dikondisikan oleh
karma atau oleh hukum alam yang lain. Apabila segala sesuatu dikondisikan oleh
karma atau hukum alam yang lain, maka seseorang tidak ada kesempatan untuk
melakukan perbuatan (karma) yang terbebas dari kondisi (keserakahan,
kebencian, kebodohan batin, tanpa keserakahan, tanpa kebencian, dan tanpa
kebodohan batin) dan tidak akan mungkin mencapai nibbāna. Hal tersebut
dikatakan oleh Robertson (http://ipmweb.info/aloka/journal2.htm#kam) bahwa:
If everything, down to the minutest detail, were preconditioned either by
kamma or by the physical laws of the universe, there would be no room in
the pattern of strict causality for the functioning of free will. It would
therefore be impossible for us to free ourselves from the mechanism of
cause and effect, it would indeed be impossible to attain nibbāna.
Buddha mengatakan dalam Aṅguttara Nikāya I (Woodward, 2000: 227):
Monks, if anyone should say: “Just as this man does a deed, so does he
experience it,’…this being so there is no living of the holy life, there is no
opportunity manifested for the utter destruction of ill (dukkha).
But if one should say: “Just as this man does a deed that is to be
experienced, so does he experience its fulfillment,”…this being so, monks,
there is living of the holy life, there is opportunity manifested for the utter
ending of ill (dukkha).
Seseorang memiliki pandangan bahwa seseorang melakukan perbuatan akan
mengalami akibat yang sama dengan perbuatan yang dilakukan, maka tidak dapat
menjalankan kehidupan suci dan tidak ada kesempatan untuk menghentikan atau
terbebas dari penderitaan (dukkha). Apabila seseorang melakukan perbuatan akan
mengalami akibat dengan berbagai cara, maka dapat menjalankan kehidupan suci
dan tidak ada kesempatan untuk menghentikan atau terbebas dari penderitaan
(dukkha). Hal tersebut menjelaskan bahwa apabila perbuatan merupakan nasib
atau takdir, maka seseorang tidak akan dapat terbebas dari penderitaan (dukkha).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perbuatan yang
dilakukan oleh suatu makhluk merupakan bentuk kehendak bebas dan bukan
ditentukan atau disebabkan oleh takdir atau nasib. Hal tersebut menunjukkan
bahwa karma atau perbuatan dapat dilakukan dengan bebas oleh seseorang dan
menunjukkan bahwa karma bukanlah takdir atau nasib yang mengarah pada
pandangan deterministik dan fatalistik.
4. Karma Bukan Fatalistik karena dapat Diubah
Kamma bukanlah suatu takdir atau nasib yang tidak dapat diubah. Kamma
dapat diubah oleh suatu kondisi atau keadaan. Keadaan yang mempengaruhi
kamma adalah kekuatan menguntungkan dan merugikan yang bekerja untuk
menghambat dan mendorong hukum karma yang bekerja dengan sendirinya.
Keadaan yang menguntungkan atau mendukung disebut sebagai sampatti,
sedangkan keadaan yang merugikan atau menghambat disebut sebagai vipatti.
Kekuatan tersebut dapat mengubah atau mempengaruhi bekerjanya suatu karma
atau perbuatan. Menurut Dhammananda (1964: 132), kekuatan yang mendorong
dan menghambat bekerjanya kamma adalah kelahiran (gati), bentuk fisik
(upadhi), waktu (kāla), dan usaha atau kepandaian (payoga).
a. Kelahiran (gati)
Kelahiran dapat mempengaruhi bekerjanya karma dari suatu makhluk.
Suatu makhluk ada yang terlahir dalam keadaan yang menguntungkan dan tidak
menguntungkan atau merugikan. Kelahiran yang menguntungkan disebut dengan
(gati-sampatti), sedangkan kelahiran yang tidak menguntungkan disebut dengan
(gati-vipatti). Menurut Janakabhivamsa (2005: 218), kelahiran yang
menguntungkan adalah terlahir di alam manusia, alam dewa, dan alam brahma.
Suatu makhluk yang terlahir di alam yang menguntungkan, maka akan
memberikan kesempatan kusala-kamma (karma baik) yang telah dilakukannya
untuk berbuah. Kelahiran yang merugikan adalah terlahir di alam yang
menyedihkan, yaitu di alam neraka, binatang, setan, dan raksasa. Makhlukmakhluk
yang terlahir di alam tersebut kehidupannya banyak diliputi dengan
penderitaan dan mendorong karma buruk yang dilakukannya untuk berbuah.
Sebagai contoh, suatu makhluk yang terlahir sebagai binatang yang hidup di
hutan, maka akan berjuang untuk menghindar dari pemangsa dan juga pemburu
binatang. Terlahir sebagai binatang tersebut membuat akusala kamma (perbuatan
buruk) berbuah. Menurut Tee (2003: 165), kelahiran yang menguntungkan adalah
terlahir dalam keluarga yang tinggi atau kaya, sedangkan kelahiran yang tidak
menguntungkan adalah terlahir dalam keluarga yang rendah atau miskin.
Seseorang yang terlahir dalam keluarga kerajaan, bangsawan, atau keluarga kaya
memberikan kesempatan karma baik yang dilakukannya untuk berbuah. Misalnya,
seseorang terlahir pada keluarga kaya, maka segala kebutuhannya akan terpenuhi.
Seseorang yang terlahir dalam keluarga yang miskin memberikan kesempatan
karma buruk yang dilakukannya untuk berbuah. Misalnya, seseorang terlahir
dalam keluarga miskin dan tidak mempunyai pekerjaan, maka untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sangat susah.
b. Bentuk fisik (upadhi)
Bentuk fisik dapat mempengaruhi bekerjanya karma dari suatu makhluk.
Terlahir dengan bentuk fisik yang baik atau menguntungkan disebut sebagai
upadhi-sampatti, sedangkan terlahir dengan bentuk fisik yang tidak baik disebut
dengan upadhi-vipatti. Seseorang yang terlahir dengan bentuk fisik yang baik
akan mendorong karma baik yang dilakukannya untuk berbuah. Misalnya,
seseorang yang terlahir dalam keluarga yang miskin tetapi mempunyai wajah
yang cantik. Kecantikan yang dimilikinya dapat digunakan sebagai modal untuk
mengubah keluarganya menjadi keluarga yang kaya. Kecantikan yang dimilikinya
akan mendorong karma baik yang dimilikinya untuk berbuah dengan
menjadikannya model, artis, atau bintang film. Dengan menjadi model, artis, atau
bintang film, maka ia mempunyai banyak uang dan mampu mengubah
keluarganya menjadi keluarga yang kaya. Bukan hanya manusia saja, binatang
yang memiliki bentuk yang menarik seperti burung yang indah, anjing yang
cantik, ikan yang berwarna-warni dijadikan hewan peliharaan olah orang kaya dan
mendapatkan makanan dan tempat tinggal yang layak. Hal tersebut menunjukkan
bahwa suatu makhluk yang mempunyai bentuk fisik yang baik akan mendorong
karma baiknya untuk berbuah.
Seseorang yang terlahir dengan memiliki wajah yang buruk akan
menghambat karma baiknya untuk berbuah dan mendorong karma buruk yang
dimilikinya untuk berbuah. Misalnya, seseorang terlahir dalam keluarga yang
kaya tetapi ia cacat dan tidak dapat berjalan. Meskipun orang tersebut tercukupi
secara materi karena keluarganya kaya, tetapi ia menderita karena tidak dapat
bergaul dan pergi dengan teman-temannya. Orang tersebut merasakan penderitaan
meskipun terlahir dalam keluarga yang kaya. Hal tersebut menunjukkan bahwa
bentuk fisik dari suatu makhluk dapat mempengaruhi bekerjanya karma yang
dimilikinya. Seseorang yang terlahir dalam keluarga yang miskin dapat mengubah
keluarganya menjadi keluarga yang kaya dengan memiliki upadhi-sampatti.
Sebaliknya seseorang yang terlahir sebagai orang kaya tetapi ia lahir cacat, maka
ia tidak akan merasakan kebahagiaan tetapi justru merasa menderita karena tidak
dapat bergaul dengan teman-temannya. Penderitaan yang dialami oleh orang
tersebut disebabkan oleh upadhi-vipatti.
c. Waktu (kāla)
Suatu makhluk yang terlahir dalam waktu yang menguntungkan dan tidak
menguntungkan akan mempengaruhi bekerjanya karma. Kelahiran pada waktu
yang tidak menguntungkan disebut dengan kāla-sampatti, sedangkan kelahiran
pada waktu yang tidak menguntungkan disebut kāla-vipatti. Kelahiran pada waktu
yang menguntungkan, misalnya seseorang yang terlahir pada saat kondisi negara
aman, pemerintahan bekerja dengan baik, peduli dengan kesejahteraan
masyarakatnya, meningkatkan kemakmuran, kesehatan, dan pendidikan.
Seseorang yang hidup pada waktu itu karma baiknya akan berbuah serta akan
menikmati kemakmuran, pendidikan dan kesehatan terjamin, serta kehidupan
yang aman. Pada saat itu karma buruk yang lampau yang akan mengakibatkan
kemiskinan dan kelaparan tidak berbuah pada kehidupan itu.
Seseorang yang terlahir pada waktu yang tidak menguntungkan akan
mendorong karma buruk yang dilakukannya untuk berbuah. Misalnya, seseorang
terlahir pada saat peperangan, meskipun menjadi orang kaya, ia merasa ketakutan.
Hal tersebut mendorong karma buruk yang dimilikinya untuk berbuah.
d. Usaha atau kepandaian (payoga)
Usaha atau kepandaian mempengaruhi bekerjanya karma dari seseorang.
Usaha dan kepandaian disebut sebagai payoga-sampatti, sedangkan kemalasan
dan minimnya pengetahuan disebut sebagai payoga-vipatti. Usaha yang keras dan
kepandaian dapat mendorong karma baik akan berbuah dan menghambat karma
buruk untuk berbuah. Menurut Janakabhivamsa (2005: 221), payoga-sampatti
adalah gabungan dari sati (perhatian murni), viriya (semangat), dan ñāna
(pengetahuan). Sati adalah perhatian murni atau perhatian benar yang terdapat di
dalam jalan mulia berfaktor delapan (ariya aṭṭhaṅgika magga). Viriya adalah
semangat atau dapat dikatakan sebagai usaha yang keras. Ñāna dalam hal ini
bukan berarti pengetahuan, tetapi memiliki pengertian yang benar untuk tidak
menyakiti makhluk lain. Selain sati (perhatian murni), viriya (semangat), dan
ñāna (pengetahuan), payoga-sampatti juga terdiri dari kewaspadaan, kesiagaan,
wawasan diri, kebijaksanaan, dan kecerdasan. Payoga-sampatti akan mendorong
karma baik untuk berbuah. Sebagai contoh, seseorang yang terlahir sebagai orang
miskin, maka ia dapat mengubah keadaannya dengan usaha yang keras dan
kepandaiannya. Orang tersebut menjalankan usaha dengan berdagang makanan.
Kepandaian yang dimilikinya membuatnya mampu membaca peluang, maka
usaha yang dilakukannya menjadi sukses dan menghasilkan banyak uang. Dengan
cara tersebut, maka orang itu akhirnya menjadi orang kaya. Hal tersebut
menunjukkan bahwa seseorang yang terlahir sebagai orang yang miskin tidak
selamanya ia menjadi orang miskin. Dengan usaha yang keras ia dapat menjadi
orang kaya karena mendorong karma baik yang dilakukannya berbuah.
Payoga-vipatti mendorong karma buruk untuk berbuah dan menghambat
karma baik untuk berbuah. Kelambanan, kemalasan, kurangnya pengetahuan, iri
hati, cepat tersinggung, kesombongan merupakan payoga-vipatti. Misalnya,
seseorang terlahir sebagai orang kaya, tetapi ia malas dan tidak mau bekerja, maka
kekayaan yang dimilikinya lama kelamaan akan habis. Hal tersebut menunjukkan
bahwa seseorang yang terlahir sebagai orang kaya dapat menjadi orang miskin
karena bermalas-malasan dan tidak mau berusaha untuk mempertahannya
kekayaannya.
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa karma bukanlah suatu takdir atau
nasib yang tidak dapat diubah. Empat kondisi atau kekuatan, yaitu kelahiran
(gati), bentuk fisik (upadhi), waktu (kāla), dan usaha atau kepandaian (payoga)
dapat mempengaruhi atau mengubah bekerjanya karma. Seseorang yang terlahir
sebagai orang miskin bukan karena takdir atau nasib yang tidak dapat diubah.
Orang miskin tidak selamanya akan menjadi orang miskin. Dengan usaha yang
keras seseorang dapat mengubah kehidupannya menjadi orang yang kaya.
Solusi yang diberikan oleh agama Buddha untuk mengubah pola pikir
negatif dari umat Buddha adalah dengan memberikan penjelasan kepada umat
Buddha tentang pemahaman yang benar terhadap ajaran karma. Umat Buddha
memiliki pola pikir negatif disebabkan oleh pemahaman yang salah terhadap
ajaran karma. Dengan memiliki pemahaman yang benar terhadap ajaran karma,
maka umat Buddha akan dapat mengubah pola pikir negatif yang dimilikinya.
Peran dhammaduta sangat diperlukan untuk memberikan pemahaman yang benar
terhadap ajaran karma. Dhammaduta membantu umat Buddha untuk mengubah
pola pikir negatif yang dimilikinya. Dhammaduta memberikan pemahaman yang
benar terhadap ajaran karma dengan menunjukkan bahwa karma hanyalah salah
satu satu lima hukum alam (niyāma) dan salah satu dari dua puluh empat kondisi
(paccaya); menunjukkan bahwa adanya kehendak, kemauan atau keinginan bebas
(freewill) yang menjelaskan bahwa karma bukanlah takdir atau nasib; dan
menunjukkan bahwa karma dapat diubah oleh suatu kondisi atau keadaan, yaitu
kelahiran (gati), bentuk fisik (upadhi), waktu (kāla), dan usaha atau kepandaian
(payoga).


BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Karma merupakan perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh suatu
makhluk dengan disertai niat atau kehendak (cetanā). Perbuatan atau tindakan
yang dilakukan tanpa adanya niat atau kehendak (cetanā) tidak dapat disebut
sebagai karma. Perbuatan (karma) dapat berupa perbuatan baik (kusala kamma)
dan perbuatan tidak baik (akusala kamma) yang dilakukan melalui pikiran, ucapan
atau perkataan, dan badan jasmani. Perbuatan baik maupun tidak baik yang
dilakukan melalui pikiran, contohnya berpandangan benar dan memiliki kemauan
jahat. Perbuatan baik maupun tidak baik yang dilakukan melalui ucapan atau
perkataan, contohnya memberikan nasihat dan berbohong. Perbuatan baik maupun
tidak baik yang dilakukan melalui badan jasmani, contohnya menolong orang lain
yang mengalami musibah dan melakukan pembunuhan terhadap binatang.
Ajaran karma merupakan ajaran yang mengajarkan sebab akibat dari
perbuatan. Perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang akan menghasilkan
akibat yang baik. Misalnya, seseorang melakukan perbuatan baik, yaitu menolong
makhluk hidup dan tidak suka membunuh, maka ia akan menerima akibat yang
baik, yaitu akan berumur panjang. Sebaliknya, perbuatan tidak baik atau buruk
yang dilakukan oleh seseorang akan menghasilkan akibat yang tidak baik atau
buruk. Sebagai contoh, seseorang yang melakukan pembunuhan terhadap
binatang, maka ia akan menerima akibat yang buruk, yaitu akan berumur pendek
dan sering sakit-sakitan.
Posisi ajaran karma yang berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat
Buddhis adalah sebagai landasan umat Buddha dalam berbuat sesuai dengan
moral dan etika (sesuai dengan sīla), sebagai salah satu representasi berlakunya
paṭiccasamuppāda, dan sebagai filsafat jalan tengah. Umat Buddha yang
memahami ajaran karma dengan benar akan mendorongnya untuk menahan diri
untuk tidak melakukan perbuatan tidak baik dan mengembangkan perbuatan baik
serta berbuat sesuai dengan moral dan etika (atau sesuai dengan sīla). Oleh karena
itu, ajaran karma dapat digunakan landasan umat Buddha dalam berbuat sesuai
dengan moral dan etika (sesuai dengan sīla). Ajaran karma merupakan bentuk
atau representasi berlakunya paṭiccasamuppāda (hukum sebab akibat atau hukum
sebab musabab yang saling bergantungan) karena memuat ajaran tentang sebab
dan akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh suatu makhluk. Ajaran karma
merupakan salah satu bentuk dari hukum sebab dan akibat, khususnya perbuatan.
Ajaran karma disebut sebagai filsafat jalan tengah karena menghindari dua
pandangan salah, yaitu eternalis (kekekalan) dan nihilis (kekosongan). Teori
karma yang bersifat eternalis mengungkapkan bahwa adanya “diri” yang kekal
yang melakukan perbuatan atau tindakan sekaligus yang menerima, sedangkan
teori karma yang bersifat nihilis menjelaskan bahwa suatu perbuatan yang
dilakukan olah seseorang tidak akan menimbulkan akibat apapun.
Ajaran karma yang diterima oleh umat Buddha kebanyakan diperoleh dari
ceramah-ceramah yang diberikan oleh dhammaduta dan buku-buku atau literatur
Buddhis yang memuat ajaran tentang karma. Selain itu, umat Buddha yang masih
duduk di bangku sekolah maupun kuliah mendapatkan ajaran karma dari mata
pelajaran dan mata kuliah dari guru maupun dosennya. Pemahaman terhadap
ajaran karma yang dimiliki oleh umat Buddha berbeda-beda. Pemahaman benar
dan pemahaman salah terhadap ajaran karma yang dimiliki oleh umat Buddha
akan mempengaruhi pola pikirnya dan berpengaruh terhadap perbuatan dan
tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Pemahaman yang benar terhadap ajaran karma akan membuat seseorang
memiliki pandangan benar yang terdapat di dalam jalan mulia berfaktor delapan
(ariya aṭṭhaṅgika magga). Pandangan benar terhadap ajaran karma terdiri dari tiga
jenis, yaitu pandangan benar terhadap kepemilikan perbuatan (terdapat di dalam
Cūḷakammavibhaṅga Sutta), pandangan benar terhadap sepuluh persoalan yang
berhubungan dengan karma (terdapat di dalam Mahācattārīsaka Sutta), dan
pandangan benar mengenai ajaran karma yang terdapat dalam Sammadiṭṭhi Sutta
(memahami perbuatan baik (kusala); memahami akar dari perbuatan baik
(kusalamula); memahami perbuatan tidak baik (akusala); dan memahami akar
dari perbuatan tidak baik (akusalamula).
Pemahaman benar terhadap ajaran karma yang menimbulkan pandangan
benar akan mempengaruhi pola pikir masyarakat Buddhis. Umat Buddha yang
memiliki pemahaman benar terhadap ajaran karma akan memiliki pola pikir
positif. Pola pikir positif yang disebabkan oleh pemahaman benar terhadap ajaran
karma adalah pola pikir optimis. Umat Buddha optimis bahwa dapat
menghentikan karma sehingga terbebas dari penderitaan. Umat Buddha memiliki
pemahaman benar bahwa perbuatan baik (kusala kamma) maupun tidak baik
(akusala kamma) yang dilakukan seseorang akan menyebabkan penderitaan
(dukkha). Perbuatan baik maupun tidak baik tersebut disebabkan oleh keserakahan
(lobha), kebencian (dosa), kebodohan batin atau kegelapan batin (moha), tanpa
keserakahan (alobha), tanpa kebencian (adosa), dan tanpa kebodohan batin
(amoha). Jalan untuk menghentikan karma adalah jalan mulia berfaktor delapan
(ariya aṭṭhaṅgika magga), yaitu pandangan benar (sammā diṭṭhi), pikiran benar
(sammā saṅkappa), perkataan benar (sammā vaca), perbuatan benar (sammā
kammanta), mata pencaharian benar (sammā ājiva), usaha benar (sammā
vāyāma), perhatian benar (sammā sati), dan konsentrasi benar (sammā samādhi).
Dengan menghentikan karma, maka seseorang dapat terbebas dari penderitaan
(dukkha).
Pemahaman yang salah terhadap ajaran karma akan menyebabkan umat
Buddha memiliki pola pikir negatif. Pemahaman yang salah terhadap ajaran
karma adalah menganggap bahwa karma adalah ajaran yang mengarah pada
deterministik dan fatalistik.
Determinisme merupakan ajaran atau paham yang menjelaskan bahwa
segala sesuatu telah ditentukan sebelumnya oleh suatu kekuatan atau pengatur
eksternal, seperti Tuhan atau dewa. Umat Buddha yang memiliki pemahaman
salah bahwa karma bersifat determinisme menganggap segala sesuatu yang terjadi
di dunia ini disebabkan oleh karma atau perbuatan lampau. Dalam hal ini, karma
lampau sama seperti Tuhan atau dewa yang mengatur kehidupan manusia dan
segala sesuatu yang ada di dunia. Umat Buddha yang memiliki pandangan
deterministik terhadap karma menganggap bahwa kebahagiaan dan penderitaan
yang dialami oleh semua makhluk disebabkan oleh karma lampau. Pemahaman
salah bahwa karma bersifat deterministik akan membuat umat Buddha menjadi
pasrah terhadap segala sesuatu yang terjadi pada dirinya. Umat Buddha yang
memiliki pandangan bahwa karma lampau yang menentukan kehidupan sekarang
ini akan membuat seseorang memiliki pandangan salah, yaitu karma sama dengan
takdir atau nasib. Pandangan ini mengarah pada pengertian bahwa karma adalah
ajaran fatalisme.
Fatalisme adalah ajaran atau paham yang menjelaskan bahwa segala
sesuatu yang terjadi pada kehidupan manusia disebabkan oleh takdir atau nasib.
Kebahagiaan dan penderitaan yang dialami oleh seseorang merupakan takdir atau
nasib yang sudah menjadi ketetapan dan tidak dapat diubah. Hal tersebut
menjelaskan pemahaman salah tentang karma bahwa karma bersifat deterministik
dan fatalistik.
Umat Buddha yang memiliki pemahaman salah terhadap karma bahwa
karma bersifat deterministik dan fatalistik akan membuatnya memiliki pola pikir
negatif. Pola pikir negatif yang disebabkan oleh pemahaman salah terhadap ajaran
karma adalah pola pikir fatalistis, dogmatik, pesimis, egoistik, dan apatis. Pola
pikir negatif tersebut disebabkan oleh pemahaman salah terhadap ajaran karma
bahwa karma bersifat deterministik dan fatalistik. Pola pikir negatif tersebut akan
merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, pola pikir negatif yang
dimiliki oleh umat Buddha tersebut harus diubah.
Peran dhammaduta diperlukan untuk mengubah pola pikir negatif yang
dimiliki oleh umat Buddha. Dhammaduta disini bukan hanya bhikkhu saja tetapi
juga guru agama Buddha, pandita, mahasiswa dan sarjana Buddhis maupun orangorang
yang mampu memberikan ceramah Dhamma. Dhammaduta membantu
umat Buddha untuk mengubah pola pikir negatif yang dimilikinya. Pemahaman
benar terhadap ajaran karma merupakan solusi yang tepat untuk mengubah pola
pikir negatif yang disebabkan oleh pemahaman salah terhadap ajaran karma.
Dhammaduta memberikan pemahaman benar tentang ajaran karma dengan
menjelaskan kepada umat Buddha bahwa karma bukanlah ajaran yang mengarah
pada determinisme dan fatalisme. Dhammaduta memberikan pemahaman benar
tentang ajaran karma bukan hanya dengan ceramah di vihāra saja, tetapi juga
dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan lain yang membahas tentang ajaran
karma. Kegiatan-kegiatan tersebut misalnya diskusi dan tanya jawab.
Dhammaduta memberikan pemahaman yang benar tentang ajaran karma dapat
dilakukan melalui media elektronik seperti televisi (acara mimbar agama
Buddha), radio, internet, kaset, dan VCD/DVD. Dengan cara tersebut umat
Buddha akan memiliki pemahaman benar terhadap ajaran karma dan mengubah
pola pikir negatif yang disebabkan pemahaman salah terhadap ajaran karma.
Dhammaduta menjelaskan kepada umat Buddha bahwa karma bukanlah
bersifat deterministik dan fatalistik. Karma bukanlah takdir atau nasib yang sudah
ditentukan dan tidak dapat diubah. Karma bukanlah satu-satunya sebab yang
menimbulkan segala sesuatu yang ada di dunia ini. Kebahagiaan dan penderitaan
yang dialami oleh suatu makhluk tidak sepenuhnya disebabkan oleh karma.
Karma hanyalah salah satu dari lima hukum alam (niyāma) yang mengatur atau
mengkondisikan segala sesuatu yang ada di dunia ini. Lima hukum alam (niyāma)
tersebut yaitu utu niyāma, bija niyāma, citta niyāma, kamma niyāma, dan
dhamma niyāma. Selain itu, karma juga merupakan salah satu dari dua puluh
empat kondisi (paccaya). Paccaya merupakan kondisi atau syarat dari segala
sesuatu yang bersifat saling bergantungan. Karma bukanlah suatu takdir atau nasib
yang menguasai kehidupan manusia karena adanya kehendak atau keinginan
bebas (freewill). Seseorang bebas menentukan perbuatan baik maupun tidak baik
yang akan dilakukannya. Karma dapat diubah oleh suatu kekuatan atau kondisi.
Kekuatan yang dapat mengubah bekerjanya karma adalah kelahiran (gati), bentuk
fisik (upadhi), waktu (kāla), dan usaha atau kepandaian (payoga). Penjelasan
tersebut menunjukkan bahwa karma bukanlah ajaran yang mengarah pada
deterministik dan fatalistik.
B. Saran
Bagi peneliti lain, masih banyak hal-hal yang perlu diteliti tentang
pemahaman terhadap ajaran karma. Misalnya umat Buddha bekerja sebagai
nelayan dengan mencari dan menangkap ikan di laut. Setelah memahami ajaran
karma bahwa apabila seseorang membunuh binatang, maka akan mendapatkan
akibat yang buruk yaitu berumur pendek dan sering sakit-sakitan, ia tidak mau
menjadi nelayan lagi karena takut akan akibat perbuatan buruk yang
dilakukannya. Pekerjaan sebagai nelayan tersebut merupakan satu-satunya
pekerjaan yang dapat dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya. Dalam kasus tersebut, perlu diteliti apakah perbuatan yang dilakukan
oleh nelayan tersebut merupakan pemahaman benar terhadap ajaran karma
ataukah pemahaman salah terhadap ajaran karma. Hal tersebut perlu dikaji dan
diteliti lebih mendalam lagi.
Guru agama Buddha seharusnya memberikan pengetahuan tentang ajaran
karma dengan benar sehingga anak didiknya memiliki pemahaman yang benar
terhadap ajaran karma. Dengan memiliki pemahaman yang benar terhadap ajaran
karma, maka kecil kemungkinan anak didiknya mempunyai pola pikir negatif
yang disebabkan oleh pemahaman yang salah terhadap ajaran karma. Guru agama
memberikan pengetahuan tentang ajaran karma bukan hanya teori saja, tetapi juga
mengajak anak didiknya untuk mempraktikkan teori tersebut. Selain itu, guru
agama juga harus memberikan contoh atau teladan yang baik pada anak didiknya,
misalnya bertingkah laku yang baik dengan tidak merokok, tidak meminum
minuman keras, dan tidak berjudi.
Pemberian materi yang berkenaan dengan ajaran karma seharusnya
dilakukan sejak anak usia dini. Misalnya, anak dilatih berbuat baik seperti
berdana, tidak membunuh binatang, dan bersikap baik dengan teman-temannya.
Pemberian materi yang berkenaan dengan ajaran karma bukan hanya dilakukan di
sekolah saja, tetapi juga di lingkungan keluarga. Peran orang tua sangat
diperlukan untuk memberikan teladan yang baik kepada anaknya.
Minimnya guru agama Buddha, penceramah, dan literatur Buddhis yang
membahas ajaran tentang karma menyebabkan umat Buddha memiliki
pengetahuan yang kurang terhadap ajaran karma. Oleh karena itu, umat Buddha
yang mampu memberikan ceramah Dhamma khususnya ajaran karma seperti
mahasiswa dan sarjana Buddhis diharapkan mau memberikan pengetahuan
tentang ajaran karma kepada umat Buddha karena jumlah dari bhikkhu dan guru
agama Buddha yang sedikit. Selain itu, yayasan-yayasan Buddhis diharapkan
dapat menyebarluaskan ajaran tentang karma dengan menerbitkan buku atau
literatur Buddhis. Dengan cara tersebut, umat Buddha akan memiliki pengetahuan
dan pemahaman yang benar terhadap ajaran karma.


DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Tanpa tahun. Dhammapada Atthakatha (Kisah-Kisah Dhammapada).
Terjemahan oleh Tim Penerjemah Vidyasena. 1997. Yogyakarta:
Vidyasena.
______. Tanpa tahun. Paccaya, (Online),
(http://www.palikanon.com/english/wtb/n_r/paccaya.htm, diakses 24
Maret 2009).
Bodhi, Bhikkhu (Transl.). 2000. The Connected Discourses of The Buddha
Volume I (Saṁyutta Nikāya). Oxford: The Pali Text Society.
______. 2000. The Connected Discourses of The Buddha Volume II (Saṁyutta
Nikāya). Oxford: The Pali Text Society.
______. Tanpa Tahun. Jalan Kebahagiaan Sejati. Terjemahan oleh Hendra
Widjaja. 2006. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.
Buddhadāsa. Tanpa Tahun. Pesan-Pesan Kebenaran. Terjemahan oleh Dewi
Kumuda Gayasih. 2005. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.
Buddhaghosa. Tanpa tahun. The Path of Purification (Visuddhi Magga).
Translated by Ñāṇamoli. 1975. Oxford: The Pali Text Society.
Chaplin, James P. 1968. Kamus Lengkap Psikologi. Terjemahan oleh Kartono
Kartini. 1981. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Davids, T. W. Rhys (Ed.). 2002. Dialogues of The Buddha II (Dīgha Nikāya).
Oxford: The Pali Text Society.
______. 2002. Dialogues of The Buddha III (Dīgha Nikāya). Oxford: The Pali
Text Society.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Dhammananda, Sri. 1964. Keyakinan Umat Buddha. Terjemahan oleh Ida
Kurniati. 2005. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.
Dhammika, Shravasti. Tanpa Tahun. Freewill, (Online),
(http://buddhismatoz.com, diakses 05 Maret 2009).
Hare, E. M. (Transl.). 2001. The Book of The Gradual Sayings Volume III
(Aṅguttara Nikāya). Oxford: The Pali Text Society.
Hasan, M. Iqbal. 2002. Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Horner, I. B. (Transl.). 2000. The Middle Length Sayings Volume I (Majjhima
Nikāya). Oxford: The Pali Text Society.
______. 2002. The Middle Length Sayings Volume II (Majjhima Nikāya). Oxford:
The Pali Text Society.
______. 1999. The Middle Length Sayings Volume III (Majjhima Nikāya).
Oxford: The Pali Text Society.
______. 2000. The Book of The Discipline Volume IV (Mahāvagga, Vinaya
Piṭaka). Oxford: The Pali Text Society.
Janakabhivamsa. Tanpa Tahun. Abhidhamma Sehari-hari. Terjemahan oleh Ashin
Jinorasa. 2005. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.
Kaelan, M.S. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta:
Paradigma.
Kaharuddin. 2004. Kamus Umum Buddha Dharma. Jakarta: Tri Sattva Buddhist
Centre.
______. 2004. Rampaian Dhamma. Jakarta: PERVITUBI.
______. 2005. Abhidhammatthasaṅgaha. Tangerang: Vihara Padumuttara.
Kalupahana, David J. 1975. Buddhist Philosophy: A Historical Analysis.
Hanolulu: The University Press of Haway.
Keraf, Gorys. 2004. Komposisi. Flores: Nusa Indah.
Kirthisinghe, Buddhadasa P (Ed.). 1999. Buddhism & Science. Delhi: Motilal
Banarsidasa Publishers Private Limited.
Kountur, Ronny. 2005. Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis.
Jakarta: Penerbit PPM.
Ledi, Sayadaw. 1965. The Manuals of Buddhism. Rangoon: A SBVMS
Publication.
Mangunhardjana, A. 1997. Isme-Isme Dalam Etika Dari A Sampai Z. Yogyakarta:
Kanisius.
Masefield, Peter (Transl.). 1997. The Udāna. Oxford: The Pali Text Society.
______. 2001. The Itivuttaka. Oxford: The Pali Text Society.
Mettadewi. 1994. Pokok-Pokok Dasar Abhidhamma Jilid I. Jakarta: Yayasan
Pendidikan Buddhis Nalanda.
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Mukti, Krishnanda Wijaya. 2003. Wacana Buddha Dharma. Jakarta: Yasasan
Dharma Pembangunan
Nanayakkara, S. K. Tanpa tahun. Free Will. Dalam Malalasekera, G. P. (Ed.),
Encyclopaedia of Buddhism Volume V (hlm. 277-280). Srilanka: The
Government of Sri Lanka.
Narada. 1988. The Buddha and His Teachings. Taipei: The Corporate Body of the
Buddha Educational Foundation.
Narada (Transl.). 1997. Conditional Relations I (Paṭṭhāna). Oxford: The Pali Text
Society.
Naylor, Thomas H. dkk. 1995. Pencarian Makna Sebuah Kehidupan. Terjemahan
oleh Anton Adiwiyoto. 1996. Jakarta: Binarupa Aksara.
Norman, K. R. (Transl.). 2004. The Word of The Doctrine (Dhammapada).
Oxford: The Pali Text Society.
Nyanatiloka. Tanpa Tahun. Buddhist Dictionary (Manual of Buddhist Terms and
Doctrines). Neo Pee Teck Lane: Singapore Buddhist Meditation Centre.
Payutto, Bhikkhu. Tanpa tahun. Good, Evil, and Beyond: Kamma in the Buddha’s
Teaching. Translated by Bhikkhu Puriso. 1993. Bangkok: Buddhadhamma
Foundation.
Piyadasi. 1991. The Spectrum of Buddhism. Taipei: The Corporate Body of the
Buddha Educational Foundation.
Rashid, Teja S. M. 1997. Sīla dan Vinaya. Jakarta: Penerbit Buddhis BODHI.
Robertson, Deshabandu Alec. Tanpa tahun. Kamma and Freewill, (Online),
(http://ipmweb.info/aloka/journal2.htm#kam, diakses 05 maret 2009).
Santina, Peter Della. 1997. The Tree of Enlightment. Taipei: Chico Dharma Study
Foundation.
Story, Francis. Tanpa tahun. Tindakan. Dalam Nyanaponika (Ed.), Kamma and its
Fruit (hlm. 1). Terjemahan oleh Lanny Anggawati dan Wena Cintiawati.
2003. Klaten: Wisma Sambodhi.
______. Karma dan Kebebasan. Dalam Nyanaponika (Ed.), Kamma and its Fruit
(hlm. 52). Terjemahan oleh Lanny Anggawati dan Wena Cintiawati. 2003.
Klaten: Wisma Sambodhi.
Tee, Jeffrey Po Gim. 2003. The Buddhist Companion. Geylang: Buddhist
Research Society.
Thittila, U. Tanpa tahun. What Kamma Is?. Dalam Beng, Tan Teik (Ed.), Gems of
Buddhist Wisdom (hlm. 129-146). Taipei: The Corporate Body of the
Buddha Educational Foundation.
Uttamarasa. 2004. The Buddhist Way of Daily Life. Penang: The Penang Buddhist
Association.
Vajirananavarorasa. Tanpa tahun. Dhamma Vibhānga (Penggolongan Dhamma).
Terjemahan oleh Bhikkhu Jeto. 2002. Yogyakarta: Vidyasena Vihara
Vidyaloka.
Wahyono, Mulyadi. 2002. Pokok-Pokok Dasar Agama Buddha. Jakarta:
Departemen Agama R. I.
Widya, Dharma K. 2005. Kompilasi Istilah Buddhis. Jakarta: Yayasan Dana
Pendidikan Buddhis Nalanda.
Williams, Donna. 2004. Merubah Pola Pikir, (Online),
(http://www.maapservices.org/About_Autism_Aspergers.asp, diakses 19
Oktober 2008).
Woodward, F. L (Transl.). 2000. The Book of The Gradual Sayings Volume I
(Aṅguttara Nikāya). Oxford: The Pali Text Society.
______. 2001. The Book of The Gradual Sayings Volume II (Aṅguttara Nikāya).
Oxford: The Pali Text Society.
______. 2003. The Book of The Gradual Sayings Volume V (Aṅguttara Nikāya).
Oxford: The Pali Text Society.
Wowor, Cornelis. 2004. Hukum Kamma Buddhis. Jakarta: CV Nitra Kencana
Buana.
Zed, Mestika. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.


RIWAYAT HIDUP
Nama : Eko Mukti Wibowo
Tempat, tanggal lahir : Pati, 06 Maret 1988
Alamat : Desa Ngawen Kebon, Rt. 04/Rw. II, Kecamatan Cluwak,
Kabupaten Pati, Jawa Tengah 59157
Riwayat Pendidikan:
1. Taman Kanak-Kanak (TK) Dharma Wanita, Desa Ngawen
2. Sekolah Dasar (SD) Negeri I Ngawen
3. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri I Cluwak
4. Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri I Tayu