Cari Blog Ini

08 Februari 2009

pacarku


bhikkhuni theravada

MEMBENTUK BHIKKHUNI THERAVADA KEMBALI

Dalam perkembangan agama Buddha, agama Buddha berkembang ke dalam berbagai mazhab atau sekte. Terdapat tiga aliran besar yaitu Theravada, Mahayana dan Tantrayana. Tiap-tiap mazhab mempunyai perkumpulan Sangha yang terdiri dari Sangha Bhikkhu dan Sangha Bhikkhuni. Dalam perkembangan mazhab Theravada sekarang ini, hanya terdapat Sangha Bhikkhu saja. Sangha Bhikkhuni Theravada sekarang ini sudah tidak ada lagi sejak Bhikkhuni yang terakhir yaitu Bhikkhuni Sanghamitta di Srilanka. Sekarang sudah tidak ada Sangha Bhikkhuni Theravada di mana pun. Sangha Bhikkhuni masih ada dalam mazhab Mahayana dan Tantrayana. Banyak Bhikkhuni dari mazhab Mahayana yang ingin menjadi Bhikkhuni Theravada tetapi tidak diterima karena di Theravada sendiri tidak ada Sangha Bhikkhuni Theravada. Sekarang banyak keinginan dari umat Buddha untuk membentuk kembali Sangha Bhikkhuni Theravada kembali.

Sangha Bhikkhuni pertama kali terbentuk atas permintaan Prajapati Gotami dan rekan-rekannya untuk menjadi Bhikkhuni dan mereka membentuk Sangha Bhikkhuni Awalnya Sang Buddha menolak tatapi setelah didesak oleh Bhikkhu Ananda maka Sang Buddha menyetujuinya. Dalam Cullavagga Sang Buddha mengatakan dengan tidak adanya Bhikkhuni maka Dhamma akan bertahan selama 10000 tahun tetapi bila ada Bhikkhuni Dhamma akan berkurang menjadi 5000 tahun. Alasan Sang Buddha mengatakan hal tersebut menurut pendapat saya adalah para Bhikkhu dapat tergoda oleh para Bhikkhuni karena masih memiliki nafsu seksual karena mereka lebih sering bertemu dan tinggal dalam satu komplek vihara. Bhikkhu sebagai pemelihara Dhamma dan melestarikan Dhamma. Bila para Bhikkhu banyak yang keluar dari kebhikkhuan karena tergada seorang Bhikkhuni maka Dhamma akan mulai dilupakan dan lama kelamaan akan hilang. Banyak perbincangan tentang bagaimana bila Sangha Bhikkhuni Theravada dibentuk kembali. Banyak yang setuju maupun yang tidak setuju.

Membentuk Bhikkhuni Theravada kembali harus melalui prosedur yang sesuai dengan Vinaya. Dalam vinaya disebutkan bahwa untuk mentahbiskan seorang Bhikkhuni harus ditahbiskan oleh Sangha Bhikkhu dulu kemudian baru ditahbiskan oleh Sangha Bhikkhuni. Yang menjadi permasalahan adalah tidak adanya Sangha Bhikkhuni lagi maka secara otomatois tidak bisa mentahbiskan seseorang menjadi Bhikkhuni. Itulah alasan mengapa tidak disetujui untuk membentuk Sangha Bhikkhuni Theravada kembali karena sesuai dengan vinaya tidak bisa mentahbiskan seseorang menjadi Bhikkhuni bila tidak ada Sangha Bhikkhuni. Bhikkhu Theravada terlalu orthodok terhadap vinaya. Orang-orang barat akan mempermasalahkan hal tersebut dengan alasan gender dan hak asasi manusia. Orang barat akan mempermasalahkan mengapa wanita tidak boleh menjadi Bhikkhuni dan hak setiap orang untuk menjadi Bhikkhuni. Tetapi Bhikkhu Theravada tidak memperbolehkan membentuk Sangha Bhikkhuni bukan karena alasan gender tetapi lebih ke alasan Vinaya. Bila disetujui untuk membentuk kembali maka banyak masalah yang terjadi begitu pula bila tidak disetujui maka juga akan menimbulkan masalah. Keputusan untuk membentuk kembali Sangha Bhikkhuni Theravada adalah tergantung dari masing-masing individu sendiri dengan alasan yang kuat. Tetapi baik disetujui maupun tidak disetujui akan menimbulkan dampak yang tidak baik. Yang terpenting adalah pelayanan terhadap umat Buddha dan pemelihara Dhamma ajaran Sang Buddha.

agama Buddha dan ilmu pengetahuan

Analisis Agama Buddha Terhadap Pengetahuan

Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui, kepandaian atau segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran) ( Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 1121). Sang Buddha menjelaskan dalam Canki-sutta (Majjhima Nikaya), pengetahuan yang diperoleh berdasarkan kepercayaan atau keyakinan (Saddha), kesukaan atau kecintaan (Ruci), wahyu atau tradisi yang turun temurun (Anusava), pandangan sepintas (Ditthinilhanakhanti) dan logika atau penalaran (Atakkaparivittaka) adalah bisa benar bisa salah (Filsafat Buddha, 1986: 15). Sang Buddha menganjurkan untuk tidak mempercayai pengetahuan yang berdasarkan atas kelima hal tersebut karena bisa menimbulkan sikap dogmatis dalam diri seseorang. Dalam Kalama sutta (Anguttara Nikaya), Sang Buddha berkata pada suku Kalama jangan saja mengikutu tradisi lisan, ajaran turun temurun, kata orang, koleksi kitab suci, penalaran logis, penalaran lewat kesimpulan, perenungan tentang alasan, penerimaan pandangan setelah memikirkannya, pembicaraan yang kelihatannya meyakinkan, atau karena seorang guru. (Woodward, 2000: 187).

Dalam Vimamsaka sutta (Majjhima Nikaya) terdapat sepuluh hal yang biasanya dijadikan sumber pengetahuan, yaitu Anussavena (tradisi yang turun temurun), Paramparaya (ajaran yang tak terputuskan), Itikiraya (kabar angin atau desas desus), Pitakasampadaya (kitab suci), Bhavyarupataya (anggapan bahwa pendapat seseorang pasti benar), Samano no garu (pendapat guru adalah benar), Takkahetu (logika), Nayahetu (penalaran), Akaraparivittakena (logika), dan Ditthinijjhanakkhatiya (pandangan sekilas).

Dalam menemukan pengetahuan, terdapat tiga hal yang menjadi asal-usul pengetahuan yaitu

1. Tradisionalis (anusavika)

Penganutnya adalah kaum Brahmanisme berdasarkan kitab Veda.

2. Rasionalis (Takkavimamsi)

Berdasarkan dari pemikiran, intuisi atau logika, penganutnya adalah kaum upanisad.

3. Empiris (pengetahuan dibuktikan dengan panca indera)

Penganutnya adalah kaum upanisad belakangan dan juga agama Buddha (empiris dan Ekstrasensori).

Agama Buddha menjelaskan bahwa pengetahuan yang sah bukan hanya menggunakan empiris tetapi juga menggunakan ekstrasensori (Abhinna). Dan juga pengetahuan tersebut membawa kepada pembebasan (emancipating knowledge). Agama Buddha tidak menganut pandangan tradisionalis karena kaum tradisionalis berpandangan dogmatis (berdasarkan kitab veda). Sang Buddha mengkritik penalaran atau rasionalis dalam Atthakavagga (Suttanipata) dan Sagatha sutta (Majjhima Nikaya). Sang Buddha mengatakan bahwa orang-orang cenderung berspekulasi untuk menemukan kebenaran, hal tersebut adalah tidak memuaskan. Tetapi sang Buddha juga menggunakan rasionalitas dalam Apannaka Sutta bahwa meskipun kita tidak tahu masa yang akan datang bila berbuat baik maka akan aman didunia ini dan yang akan datang. Itu merupakan bukti bahwa sang Buddha juga menggunakan logika atau penalaran.

Agama Buddha lebih cenderung pada empirisme yaitu suatu paham yang berlandaskan pada pengalaman indria dan persepsi ekstrasensori. Dalam hal ini Agama Buddha mengenal lima macam pengetahuan yang dapat membawa pada tujuan akhir yaitu sanna, vinnana, abhinna, parinna dan panna.

Ø SANNA (pencerapan, ingatan)

Sanna dibagi menjadi enam macam yaitu Rupa-sanna (pencerapan terhadap obyek bentuk), Sadda-sanna (pencerapan terhadap obyek suara), Gandha-sanna (pencerapan terhadap obyek bentuk), Rasa-sanna (pencerapan terhadap obyek rasa), Photthabba-sanna (pencerapan terhadap obyek kesan sentuhan), Dhamma-sanna (pencerapan terhadap obyek kesan pikiran). Sanna cenderung mengacu pada persepsi indria yang kontak dengan obyeknya sehingga menimbulkan pencerapan / ingatan terhadap sesuatu.

Ø VINNANA (kesadaran)

Vinnana dibagi menjadi enam macam yaitu Cakkhu-vinnana (kesadaran mata, timbul dengan adanya kontak antara mata dengan obyek bentuk), Sota-vinnana (kesadaran telinga, timbul dengan adanya kontak antara telinga dengan obyek suara), Ghana-vinnana (kesadaran hidung, timbul dengan adanya kontak antara hidung dengan obyek bau), Jivha-vinnana (kesadaran lidah, timbul dengan adanya kontak antara lidah dengan obyek rasa), Kaya-vinnana (kesadaran jasmani, timbul dengan adanya kontak antara jasmani dengan obyek sentuhan), Mano-vinnana (kesadaran batin, timbul dengan adanya kontak antara pikiran dengan obyek kesan pikiran).Vinnana berkaitan erat dengan sanna, keduanya saling berhubungan karena pencerapan tidak muncul tanpa adanya kesadaran.

Ø ABHINNA (kekuatan batin)

Abhinna dibagi menjadi enam macam yaitu Iddhividhanana (kekuatan magis/ perbuatan keajaiban secara jasmani), Dibbacakkhunana (mata dewa/batin, kemampuan untuk melihat alam-alam halus dan kesanggupan melihat muncul lenyapnya mahluk-mahluk yang bertumimbal lahir sesuai dengan karmanya), Dibbasotanana (telinga dewa/batin, kemampuan untuk mendengar suara-suara mahluk dari alam lain), Cetopariyanana (kemampuan untuk membaca pikiran mahluk lain), Pubbenivasanussatinana (kemampuan untuk mengingat kehidupan yang lampau), dan Asavakkhayanana (kemampuan untuk menghilangkan kekotoran batin) disebut juga sebagai Lokuttara-abhinna sedangkan lima lainnya disebut Lokiya-abhinna,. Sang Buddha mempunyai keenam abhinna ini yang diperoleh dengan meditasi samatha bhavana mencapai jhana dan meditasi vipassana bhavana.

Ø PARINNA (tingkat pengetahuan / pengertian)

Parinna dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu Nata-parinna (pengetahuan analisa) yaitu pengetahuan tentang pancakhandha melalui metode analisa dan membagi atau memisahkan faktor-faktor bagian dari keseluruhan kesatuan. Tirana-parinna (pengetahuan perenungan/ kontemplasi), yaitu kesadaran yang memungkinkan seseorang memahami ciptaan-ciptaan sebagai keadaan yang didasari oleh tiga corak umum. Pahana-parinna (pengetahuan peninggalan), menyatakan pada keadaan dimana seorang siswa menetapkan pikirannya untuk meninggalkan kemelekatan keinginan pada kelompok kehidupan itu.

Ø PANNA (kebijaksanaan)

Panna dibagi menjadi tiga macam yaitu Cintamaya-panna (kebijaksanaan timbul melalui pemikiran, perenungan tentang sebab dan akibat), Sutamaya-panna (kebijaksanaan timbul melalui pendengaran, mendengar pelajaran dan kotbah), Bhavanamaya-panna (kebijaksanaan tinbul melalui bhavana/ meditasi).

Referensi:

Ø Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Ø Woodward, F.L.2000. The Book of the Gradual Sayings (Anguttara Nikaya) Vol.II. Oxford: Pali Text Society.

Ø Kalupahana, D.J.1986. Filsafat Buddha (Sebuah Analisis Historis). Jakarta: Erlangga.

pernikahan sejenis

PERNIKAHAN SEJENIS DITINJAU DARI AGAMA BUDDHA

Dalam kehidupan kita sekarang ini, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan. Manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan saling berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. Keduanya bisa berinteraksi dan menciptakan hubungan pernikahan sebagai suami istri atas dasar rasa saling suka atau cinta maupun hanya nafsu belaka . Orang lahir sebagai manusia mempunyai sifat maskulin yeng lebih condong ke laki-laki dan sifat feminim yang lebih condong ke perempuan. Tetapi dalam kenyataannya banyak orang yang lahir sebagai laki-laki tetapi mempunyai sifat seperti perempuan dan sebaliknya. Karena hal tersebut banyak seorang pria yang menyukai pria dan juga seorang wanita yang menyukai wanita. Bahkan ada yang melangsungkan hubungan pernikahan. Hal tersebut dirasa tidak umum dalam masyarakat. Orang yang menikah dengan sesama pria disebut homo sedangkan orang yang menikah dengan sesama wanita disebut lesbian.

Dalam pandangan ilmu pengetahuan hal tersebut terjadi karena kecenderungan gen dalam diri seseorang dan juga karena faktor lingkungan. Dalam masyarakat pernikahan sejenis dikatakan tidak umum tetapi setelah banyak kasus yang terjadi hal tersebut dipandang sebagai sesuatu yang umum, misalnya di amerika pernikahan sejenis dianggap umum dan wajar dan disetujui oleh pemerintah setempat. Kasus yang terjadi di Indonesia pernikahan sejenis tidak diperbolehkan karena agama yang mereka anut tidak mengijinkan untuk melakukan pernikahan sejenis. Agama yang mereka anut menentang keras terhadap pernikahan yang sejenis. Tetapi agamanya tidak memberikan solusi bagi mereka yang mempunyai kelakuan yang dirasa tidak wajar tersebut. Masyarakat awam mendiskriminasi mereka yang melakukan perkawinan yang sejenis tersebut. Mereka mengatakan bahwa hal tersebut adalah tindakan abnormal dan mengucilkan mereka dari masyarakat. Tetapi bila kita merenung bagaimana kalau kita menjadi mereka dan apakah mereka mau hidup seperti itu maka kita tidak akan menyalahkan mereka.

Dalam sudut pandang Buddhis orang yang lahir seperti itu karena karma buruk yang lampau karena sering melakukan hubungan seks diluar kewajaran. Dalam ajarannya, Sang Buddha tidak melarang maupun mengijinkan siwanya untuk melakukan perkawinan sejenis. Tetapi hal tersebut bukan sesuatu hal yang wajar dalam kehidupan ini. Pasangan yang melakukan perkawinan sejenis tersebut mereka tahu bahwa itu tidak umum ataupun juga salah tetapi mereka tetap melakukan karena kecenderungan watak dan sifatnya tetap begitu. Dalam sudut pandang Buddhis pernikahan sejenis boleh dilakukan dengan alasan tidak ada pihak yang dirugikan atas pernikahan tersebut baik keluarga maupun pribadi orang yang melakukan. Solusi yang selanjutnya adalah orang yang mempunyai kondisi tidak umum seperti itu sebaiknya tidak menikah saja yaitu sebagai umat awam dan nafsu seksnya dipenuhi sendiri tanpa menikah dengan orang yang sama jenis kelaminnya. Bila terjadi perkawinan sejenis, maka orang yang melakukan hal tersebut harus memberikan pengabdian terhadap masyarakat. Agama buddha tidak setuju dengan perkawinan sejenis apabila tujuannya hanya untuk pemuasan nafsu seksual saja. Agama buddha selalu memberikan jalan tengah bagi suatu permasalahan. Agama Buddha tidak menolak dengan keras maupun tidak mengijinkan bagi pernikahan sesama jenis antara wanita dengan wanita dan pria dengan pria.

mahavagga

PERANAN MAHAVAGGA DALAM PENULISAN

RIWAYAT HIDUP SANG BUDDHA

  1. Pendahuluan

Mahavagga adalah salah satu bagian dari kitab vinaya pitaka bagian khandaka. Khandaka terdiri dari dua bagian yaitu maha vagga dan culla vagga. Maha vagga terdiri dari sepuluh bagian yang isinya mengenai catatan rangkaian peristiwa mulai sesaat setelah mencapai penerangan sempurna sampai terbentuknya sangha dan berbagai cara penahbisan calon bhikkhu serta peristiwa-peristiwa yang menyebabkan timbulnya suatu peraturan latihan. Pembahasan mengenai peristiwa sesaat setelah Sang Buddha mencapai penerangan sempurna terdapat dalam khandaka bagian mahakhandaka

  1. Pembahasan

Buku mengenai riwayat hidup Sang Buddha sering kita temukan dalam berbagai versi. Contoh buku yang berisi riwayat hidup Sang Buddha adalah Sang Buddha dan Ajarannya, Kronologi Buddha dan masih banyak lainnya. Penulisan riwayat hidup Sang Buddha tersebut berdasarkan pada kitab khandaka bagian mahavagga. Kitab khandaka bagian mahavagga berisi tentang sejarah bagaimana Sang Buddha mencapai penerangan sempurna, bagaimana beliau menemukan tentang hukum sebab musabab yang saling bergantungan, dhammacakkappavattana sutta, Anattalakkhana sutta, cerita tentang bagaimana kisah-kisah murid Sang Budda pada saat memeluk ajaran beliau, dan bagaimana tentang terbentuknya sangha. Riwayat hidup Sang Buddha adalah buku yang berisikan peristiwa-peristiwa semasa kehidupan Sang Buddha, jadi bisa dikatakan bahwa kitab mahavagga adalah dasar penulisan riwayat hidup Sang Buddha. Dalam perkembangannya penulisan tentang riwayat hidup Sang Buddha terpengaruh oleh tradisi yang dianut oleh penulisnya dan masyarakat setempat, penulisan ini ditujukan agar masyarakat setempat dapat dengan mudah menerimanya. Meskipun demikian pada prinsipnya yang menjadi dasar penulisan riwayat hidup Sang Buddha adalah mahavagga bagian Mahakhandaka.

3. Kesimpulan

Peranan Maha vagga terhadap penulisan riwayat hidup Sang Buddha bahwa Maha vagga bagian Mahakhandaka dijadikan dasar dalam penulisan riwayat hidup Sang Buddha, walaupun penulisan riwayat hidup Sang Buddha juga terpengaruh oleh tradisi setempat.


Referensi:

Ø Tim penyusun. 2003. Materi Kuliah Agama Buddha (Kitab Suci Tipitaka). Jakarta: CV Dewi Kayana Abadi.

Ø U Ko Lay. 2000. Guide To Tipitaka. Klaten: Vihara Bodhivamsa.

Ø Pandita Dhammavisarada. 2005. Sila dan Vinaya. Jakarta: Buddhis Bodhi.

karma dan punarbhava

Hubungan Karma dengan Punarbhava

I. Pendahuluan

Ajaran Sang Buddha mengajarkan jalan tengah yang menghindari 2 pandangan ekstrim yaitu memuaskan hawa nafsu dan menyiksa diri untuk mencapai kebebasan. Sang Buddha juga mengajarkan 4 kesunyataan mulia, paticcasamuppada, tilakkhana, kamma, dan punarbhava. Kesemuanya itu merupakan ajaran pokok dari sang Buddha. Setiap ajaran dari Sang Buddha mempunyai hubungan atau ada keterkaitan. Demikian juga karma dan punarbhava mempunyai hubungan yang sangat dekat.

II. Karma

Kata “kamma” berasal dari bahasa pali, dan kata “karma” berasal dari bahasa sanskerta. Karma adalah perbuatan manusia ketika hidup di dunia; hukum sebab akibat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 509). Karma juga diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh jasmani, perkataan, dan pikiran yang baik maupun yang jahat (Abhidhammathasangaha, 2005: 277). Dalam Anggutara Nikaya, Sang Buddha juga mengatakan bahwa “para bhikkhu, kehendak untuk berbuat itulah yang kunamakan karma. Setelah timbul kehendak dalam batinnya, seseorang melakukan perbuatan melalui jasmani, ucapan, dan pikiran”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa karma merupakan perbuatan dari suatu mahluk melalui pikiran, ucapan, dan badan jasmani yang disertai dengan niat (cetana). Segala bentuk perbuatan dapat disebut dengan karma bila disertai dengan niat (cetana). Semua mahluk dapat melakukan karma kecuali telah mencapai tingkat kesucian tertinggi (arahat). Seorang arahat tidak melakukan karma karena ia telah menghentikan proses karma. Perbuatan yang ia lakukan disebut kiriya yang tidak akan menimbulkan akibat apapun. Karma akan menimbulkan akibat atau hasil disebut vipaka atau akibat karma. Adanya suatu perbuatan atau karma yang menimbulkan akibat atau vipaka disebut hukum karma atau hukum sebab akibat.

Dalam Anggutara Nikaya, III, 415 dijelaskan bahwa perbuatan (karma) seseorang ditentukan oleh salah satu dari tiga faktor yaitu rangsangan luar, motif yang disadari dan motif yang tidak disadari. Labih lanjut dijelaskan bahwa kontak (phassa) merupakan penyebab dari perilaku (karma). Rasangan dari luar adalah gerakan refleks atau perilaku yang mengikuti rangsangan indria. Motif yang disadari adalah dosa (kebencian), lobha (keserakahan), moha (kebodohan), alobha (ketidak serakahan), adosa (tidak membenci), dan amoha (ketidak bodohan). Sedangkan motif yang tidak disadari adalah keinginan untuk hidup langgeng (jivitukama) dan keinginan untuk menghindar dari kematian (amaritukama). Ketiga faktor tersebut merupakan sebab terjadinya suatu karma yang akan menimbulkan akibat. Sedangkan dalam paticcasamuppada, ketidak-tahuan (avijja) merupakan sebab utama yang menimbulkan karma.

Dalam agama Buddha tidak ada pembuat kamma karena ajaran Buddha mengajarkan anatta (tanpa inti). Dalam Visudhi-Magga, bhikkhu Budhagosa mengatakan bahwa “ Tak ada pelaku yang menjalankan perbuatan (kamma), ataupun seseorang yang merasakan buahnya, hanyalah suku cadang penunjang yang bergulir terus, inilah sesuangguhnya yang betul”.

III. Punarbhava

Punarbhava adalah kelahiran kembali atau tumumbal lahir. Dalam agama Buddha dikenal juga dengan penerusan dari nama (patisandhi vinnana). Ketika seseorang akan meninggal dunia, kesadaran ajal (cuti citta) mendekati kepadaman dan didorong oleh kekuatan-kekuatan kamma. Kemudian kesadaran ajal padam dan langsung menimbulkan kesadaran penerusan (patisandhi vinnana ) untuk timbul pada salah satu dari 31 alam kehidupan sesuai dengan karmanya.

Keinginan tak terpuaskan akan keberadaan dan kenikmatan inderawi adalah sebab tumimbal lahir (Dhammananda, 2004: 141). Dengan memadamkan nafsu keinginan maka kita dapat menghentikan tumimbal lahir. Nafsu keinginan ini merupakan salah satu sebab yang menimbulkan karma dan menimbulkan proses kelahiran kembali.

Ajaran agama Buddha tentang tumimbal lahir harus kita bedakan dari ajaran tentang perpindahan dan reinkarnasi dari agama lain. Tumimbal lahir atau punarbhava yang disebut juga penerusan (patisandhi) bukan perpindahan roh karena dalam agama Buddha tidak mengenal roh yang kekal dan berpindah. Dalam agama Buddha dikenal dengan penerusan dari nama (patisandhi vinnana). Secara umum ada 4 cara tumimbal lahirnya mahluk-mahluk, yaitu Jalabuja-yoni (lahir melalui kandungan seperti manusia, sapi, dan kerbau), andaja-yoni (lahir melalui telur seperti ayam, bebek, dan burung), sansedaja-yoni (lahir melalui kelembaban seperti nyamuk dan ikan), dan opapatika-yoni (lahir secara spontan seperti mahluk-mahluk alam dewa dan peta).

Ada dua pendapat tentang tumimbal lahir, yang pertama menurut Abhidhamma bahwa tumimbal lahir terjadi segera setelah kematian suatu mahluk tanpa keadaan antara apapun. Sedangkan yang kedua ada yang berpendapat bahwa suatu mahluk setelah mati maka kesadaran atau energi mental mahluk tersebut tetap ada dalam suatu tempat, didukung oleh energi mental akan nafsu dan kemelekatannya sendiri, menunggu hingga cepat atau lambat tumimbal lahir terjadi.

Seorang Buddha atau arahat tidak akan terlahir kembali karena telah menghentikan karma. Dalam Dhammacakkapavatana sutta sang Buddha mengatakan bahwa “inilah kelahiran-ku yang terakhir, tiada lagi tumimbal lahir bagi-ku”. Hal tersebut membuktikan bahwa seorang Buddha tidak akan terlahir kembali.

Kelahiran kembali bukanlah suatu karangan belaka, sekarang ini para ahli sedang mengumpulkan bukti-bukti adanya suatu tumimbal lahir. Dalam film “Past Lives: Stories of Reincarnation”, disana memuat cerita orang-orang yang dapat mengingat kehidupan lampaunya.

IV. Hubungan Karma dengan Punarbhava

Karma dan Punarbhava mempunyai hubungan yang saling bergantungan. Ada hubungan sebab akibat antara karma dan punarbhava. Karma menyebabkan proses tumimbal lahir suatu mahluk. Dalam culakammavibhanga sutta dijelaskan bahwa “setiap mahluk adalah pemilik perbuatannya sendiri, terwarisi oleh perbuataannya sendiri, lahir dari perbuatannya sendiri, berhubungan dengan perbuatannya sendiri, dan terlindung oleh perbuatannya sendiri”. Hal tersebut menjelaskan bahwa suatu mahluk terlahir karena perbuatannya sendiri. Karma yang menyebabkan suatu mahluk mengalami tumimbal lahir. Tetapi yang perlu digaris bawahi adalah karma bukan satu-satunya sebab yang menimbulkan suatu mahluk mengalami kelahiran kembali. Selain karma ada faktor-faktor lain yang menyebabkan terlahirnya suatu mahluk. Ada tiga syarat yang diperlukan untuk kelahiran suatu mahluk yaitu senggama antara orang tua, ibu dalam masa subur, dan hadirnya gandhaba. Gandhaba adalah janin atau calon individu suatu mahluk.

Karma dapat menjelaskan pertanyaan, mengapa suatu mahluk tidak ada yang sama dan berbeda. Ada orang yang tinggi-pendek, kaya-miskin, cacat-normal, dll. Dalam Culakammavibanga sutta dijelaskan mengapa orang terlahir berbeda-beda. Salah satunya dijelaskan bahwa seseorang yang membunuh mahluk hidup dan tidak mempunyai belas-kasihan terhadapnya, akibat dari perilakunya tersebut, ia akan dilahirkan kembali di alam yang buruk setelah meninggal. Dalam mahakammavibhanga sutta sang Buddha menjelaskan bahwa beberapa petapa dan brahmana mempunyai kekuatan batin dapat melihat mahluk-mahluk di alam lain. Kekuatan untuk dapat melihat mahluk-mahluk alam lain yang muncul dan lenyap sesuai dengan karmanya masing-masing disebut Dibbacakkhu-nana. Ada juga sesuatu kemampuan untuk mengingat kehidupan yang lampau disebut pubbenivasanussati-nana. Dengan memiliki dua kekuatan batin tersebut kita bisa membuktikan adanya tuimbal lahir atau kelahiran kembali.

Suatu mahluk yang melakukan karma maka ia akan menerima akibat dari karma yang telah ia lakukan itu. Akibat karma tersebut dapat berakibat pada kehidupan sekarang dan yang akan datang. Dalam Visuddhimagga, Buddhagosa menjelaskan ada pembagian karma menurut waktunya. Ada empat jenis yaitu ditthadhammavedaniya kamma (karma yang menghasilkan akibat pada kehidupan sekarang), uppajjavedaniya kamma (karma yang menghasilkan akibat pada kehidupan setelah kehidupan sekarang ini), Aparaparavedaniya kamma (karma yang menghasilkan akibat pada kehidupan selanjutnya), dan ahosi kamma (kamma yang tidak memberikan akibat karena jangka waktunya telah habis). Karma seseorang yang telah ia lakukan tidak hanya akan menimbulkan akibat pada kehidupan sekarang ini tetapi juga pada kehidupan selanjutnya.

Dalam paticcasamuppada dijelaskan dengan jelas bagaimana hubungan karma dengan punarbhava. Avijja sebagai sebab terdekat yang menimbulkan sankhara (bentuk-bentuk karma). Sankhara ini wujud aslinya adalah kamma 29 atau cetana 29, yaitu akusala citta 12, mahakusala citta 8, rupavacarakusala citta 5, dan arupavacarakusala citta 4. Kemudian sankhara ini akan menimbulkan Vinnana (kesadaran). Kesadaran inilah yang merupakan proses tumimbal lahir. Vinnana ini akan menimbulkan Nama-Rupa atau Pancakhanda yang akan menimbulkan suatu mahluk. Hal tersebut menjelaskan hubungan antara karma dan punarbhava yang sangat dekat.

V. Kesimpulan

Karma dan punarbhava mempunyai sifat sebab akibat. Suatu kehidupan mahluk adalah karena akibat dari karma yang telah dilakukan. Suatu kehidupan adalah suatu rangkaian karma. Pada suatu kelahiran kembali (punarbhava), setiap orang akan melakukan suatu perbuatan (karma). Ketika seseorang berpikir dan bertindak, pikirannya secara spontan berubah melalui dorongan keinginan dan ketergantungan yang menuju kepada keberadaan dan kelahiran sesuai dengan hukum ketergantungan (paticcasamuppada) (Buddhadasa, 2005: 20). Kelahiran kembali merupakan bagian dari kehidupan, dan kehidupan adalah suatu arus kesadaran (vinnana) yang berlangsung terus berdasarkan kekuatan karma (Cornelis Wowor, 2004: 68). Bila seseorang belum bisa menghentikan proses karma maka ia akan mengalami kelahiran kembali. Seorang arahat dan Buddha tidak akan mengalami kelahiran kembali karena telah menghentikan karma. Karma menyebabkan kelahiran dan kematian suatu mahluk. Suatu mahluk terlahir karena karma yang telah dilakukannya dan suatu mahluk mati karena kekuatan karma pada kehidupan itu telah habis. Karma dan punarbhava merupakan ajaran pokok dari sang Buddha yang mempunyai keterkaitan dan memiliki sifat sebab-akibat.

Referensi:

Ø Kalupahana, David J. 1986. Filsafat Buddha: Sebuah Analisis Historis. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Ø Piyadassi, Mahatera. 2003. Spektrum Ajaran Buddha. Jakarta: Yayasan Pendidikan Buddhis Tri Ratna.

Ø Buddhadasa, Bhikkhu. 2005. Pesan – Pesan Kebenaran. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.

Ø Wowor, Cornelis. 2004. Hukum Kamma Buddhis. Jakarta: CV. Nitra Kencana Buana.

Ø Dhammananda. 2004. Keyakinan Umat Buddha. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.

Ø Kaharudin, pandit jinaratana. 2004. Rampaian Dhamma. Jakarta: DPP PERVITUBI.

Ø Narada, bhikkhu. 1998. Sang Buddha dan Ajaran-Ajaran-Nya. Jakarta:P Yayasan Dhammadipa Arama.

karma dan punarbhava







Euthanasia

PANDANGAN AGAMA BUDDHA TENTANG EUTHANASIA

Euthanasia adalah suatu tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan mahluk yang sakit parah maupun mahluk dalm kondisi koma dan mempunyai kemungkinan kecil untuk sembuh. Dalam bidang kedokteran, euthanasia boleh dilakukan dengan alasan yang kuat misalnya atas keinginan pribadi dari orang yang ingin di euthanasia. Bila euthanasia dilakukan harus ada persetujuan dulu dari keluarga yang bersangkutan. Biasanya euthanasia dilakukan pada seseorang yang mengalami penyakit yang sudah parah maupun dalam kondisi koma dan dalam keadaan terpaksa dan tidak ada jalan lain. Misalnya seseorang mempunyai penyakit yang sangat parah, tidak ada kemungkinan untuk sembuh dan sangat menderita maka dengan terpaksa melakukan aborsi karena tidak tega melihat orang tersebut menderita. Dalam keadaan masyarakat secara umum euthanasia dapat dilakukan dengan alasan tidak ada cara lain selain melakukan euthanasia.

Dalam sudut pandang Buddhis, kasus euthanasia seharusnya tidak boleh dilakukan karena merupakan suatu pembunuhan yang menyebabkan karma buruk. Agama Buddha menanggapi masalah euthanasia antara setuju dengan tidak setuju. Alasan tidak boleh dilakukannya euthanasia adalah kita sebagai umat Buddha tidak boleh membunuh, adanya kemungkinan untuk sembuh bagi orang yang menderita penyakit maupun yang sedang dalam keadaan koma. Kita harus merawat dengan sekuat tenaga terhadap keluarga kita yang mengalami penyakit yang parah maupun dalam keadaan koma. Misalnya orang yang sakit yang ingin dieuthanasia saja karena sudah tidak tahan dengan sakit yang dideritanya, maka kita sebagai keluarganya tidak memperbolehkan hal tersebut karena hal tersebut adalah bunuh diri. Misalnya orang tersebut jadi melakukan euthanasia maka akan menambah karma buruknya sendiri karena ia menyuruh seseorang untuk membunuh dan ia melakukan bunuh diri. Kasus euthanasia banyak dilakukan dengan alasan ekonomi karena pihak keluarga tidak mempunyai uang yang cukup untuk merawat orang yang sedang menderita penyakit yang parah maupun yang mengalami koma. Orang yang sakit tersebut misalnya dirawat dirumah sakit dalam waktu yang lama. Keluarga sudah tidak sanggup membayar biaya dirumah sakit dan sudah tidak ada orang yang membantu maka seharusnya dibawa kerumah dan dirawat dirumah karena tidakl mempunyai biaya. Keluarga tidak boleh melakukan euthanasia tetapi harus merawatnya dengan sekuat tenaga meskipun orang yang sakit sudah sangat menderita. Ada kasus misalnya orang dirumah sakit dalam kondisi koma dan sangat tergantung pada peralatan medis. Keluarganya tidak bisa lagi menanggung biayanya bila peralatan medisnya dicabut maka ia akan mati. Hal tersebut yang mengharuskan untuk melakukan euthanasia karena keadaan tersebut.

Kasus euthanasia sering dilakukan dengan alasan ekonomi. Kita sebagai umat Buddha seharusnya menghindari euthanasia karena merupakan pembunuhan. Terlebih lagi misalnya orang tua kita sendiri yang akan kita euthanasia, hal tersebut adalah suatu karma buruk yang sangat berat dan mengakibatkan lahir dialam neraka. Euthanasia boleh dilakukan dalam keadaan yang sangat tidak menguntungkan. Contohnya dalam kasus diatas orang yang dalam kondisi koma yang tergantung pada peralatan medis. Kita sebagai umat Buddha sebisa mungkin menghindari euthanasia. Kita harus berusaha semaksimal mungkin merawat keluarga kita yang mengalami penyakit yang sangat parah dan mengalami koma tanpa melakukan euthanasia.

aborsi

PANDANGAN AGAMA BUDDHA TENTANG ABORSI

Dalam perkembangan dunia saat ini, masalah sosial mulai muncul sebagai masalah yang sangat komplek. Kehidupan sosial kemasyarakatan sering dihadapkan pada permasalahan yang serius. Kita akan membahas masalah aborsi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Aborsi yaitu pengguguran kandungan karena berbagai alasan. Aborsi pada dasarnya malanggar hak setiap manusia untuk hidup. Aborsi yang dilakukan oleh manusia sering kali dilakukan oleh anak-anak muda yang melakukan hubungan seks bebas sebelum menikah tanpa memperhitungkan akibat yang akan ditimbulkan. Anak muda yang melakukan hubungan kelamin secara bebas akan menimbulkan dampak yang negatif karena pasangan wanitanya bisa hamil. Hal tersebut yang membuat kebingungan dari pasangan muda tersebut karena dalam usia yang masih muda mereka akan menjadi orang tua, belum mempunyai perekonomian yang mapan, dan lain sebagainya karena alasan tersebut maka pasangan wanita akan melakukan aborsi.

Selain aborsi yang dilakukan oleh anak muda juga dilakukan oleh ibu yang telah mengandung karena berbagai alasan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan aborsi bisa dilakukan dengan alasan bayi dalam kandungan dapat mempengaruhi kesehatan ibu bahkan dapat mengancam keselamatan nyawa ibu. Dalam kasus pemerkosaan, abosi dapat dilakukan karena dapat mengganggu kesehatan mental si ibu. Janin didalam kandungan dalam kondisi abnormal serta seorang ibu yang terkena penyakit HIV/AIDS, maka aborsi bisa dilakukan. Dari faktor sosial ekonomi, seorang ibu bisa melakukan aborsi, misal ibu tersebut tidak mempunyai cukup uang untuk menghidupi calon bayi dan mempengaruhi kehidupan si bayi nantinya. Serta dalam suatu negara yang mempunyai populasi yang sangat cepat, aborsi mungkin dilakukan untuk menghindari pertambahan penduduk yang cepat. Hal-hal tersebut yang menjadi alasan mengapa aborsi diperbolehkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Dari sudut pandang Buddhis aborsi bisa di toleransi dan dipertimbangkan untuk dilakukan. Agama Buddha, umat Buddha terdiru dari dua golongan yaitu pabbajita dan umat awam. Seorang pabbajita mutlak tidak boleh melakukan aborsi karena melanggar vinaya yaitu parajjika. Tetapi sebagai umat awam aborsi boleh dilakukan dengan alasan yang kuat. Misal janin dalam kandungan dalam kondisi abnormal yang dapat membahayakan kesehatan ibu bahkan dapat mengancam keselamatan ibu. Aborsi dalam agama Buddha merupakan suatu pembunuhan yang tidak diperbolehkan yang dapat menimbulkan karma buruk. Tetapi agama Buddha tidak melarang secara multak orang yang melakukan aborsi. Dengan alasan yang sangat kuat aborsi dapat dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Hal terbaik untuk tidak melakukan aborsi adalah menghindari terjadinya aborsi misal tidak melakukan hubungan seks bebas yang bisa memungkinkan terjadinya aborsi. Dalam kasus lain yang tidak dapat dihindari untuk terjadinya aborsi boleh dilakukan dengan alasan tidak ada cara lain yang terbaik dan dengan alasan yang sangant kuat. Aborsi boleh dilakukan dengan kondisi yang sangat sulit akan tetapi seminimal mungkin untuk menghindari terjadinya aborsi karena dalam agama buddha aborsi merupakan suatu pembunuhan yang tidak diperbolehkan karena menghilangkan nyawa suatu mahluk yang mengakibatkan karma buruk.